Pages

Kamis, 11 Desember 2014

PERAN SUFISTIK DALAM PENYEBARAN DAN PENGEMBANGAN

ISLAM  DI SULSEL[1]
Oleh; Abd. Kadir Ahmad
Meski Islam di Sulawesi Selatan disebarkan dengan menggunakan pendekatan formal birokratis namun ajarannya ditanamkan melalui pendekatan kultural. Tidak ada pemaksaan melalui aturan-aturan formal tentang bagaimana ajaran agama itu harus dijalankan melalui kekuatan negara.
Pengajian merupakan tradisi lama di dalam masyarakat di Sulawesi Selatan. Bentuknya macam-macam, termasuk seperti yang kita lakukan malam ini.  Sebelum adanya sistem pendidikan formal, pendidikan Islam  dilakukan dalam tradisi “manngaji tudang” (belajar agama dalam posisi duduk bersila). Pengajian merupakan perkumpulan informal yang bertujuan mengajarkan dasar-dasar agama pada mayarakat umum, sehingga pengajian ini sangat  vital  sebagai usaha islamisasi terhadap masyarakat.
Pusat pengajian di Gowa dipusatkan di Bontoala,  yang dipimpin oleh Dato ri Bandang bersama dengan ulama lainnya. Menurut riwayat, Syekh Yusuf, seorang ulama besar pada abad ke-17 M, mengalami proses pendidikan agama dengan pola seperti di atas. Sejak kecil, ia diajar mengaji Alquran oleh seorang guru bernama Daeng ri Tasammang. Kemudian dilanjutkan dengan mengikuti pengajian dari Sayed Ba’lawy bin Abdullah al-Allamah Thahir di Bontoala, sejak tahun 1634.   Dalam usia 15 tahun, Yusuf mengunjungi ulama terkenal di Cikoang yang bernama Syekh Jalaluddin al-Aidit yang mendirikan pengajian dalam tahun 1640. Ulama ini datang dari Aceh melalui Kutai ke Makassar, perkawinan Syekh Jalaluddin dengan seorang wanita Makassar di Kutai, menjadi petunjuk baginya untuk datang ke Gowa. Raja Gowa ke-15, Sultan Malikussaid menunjukkan tempat tinggal di daerah selatan Jazirah Sulawesi Selatan, yaitu di Cikoang. Di samping mengajarkan Syariat Islam kepada penduduk, beliau mendirikan pula lembaga pengajian (Abu Hamid, 1994 : 7).
Keterangan di atas menunjukkan bahwa pada abad pertama masuknya Islam di Sulawesi Selatan  pendidikan Islam baik untuk perorangan maupun untuk kelompok sudah berlangsung sedemikian rupa hingga mampu melahirkan seorang ulama besar sekaliber Syekh Yusuf.  Tampaknya setelah ulama perintis yang berasal dari Sumatera, ulama  yang menyambung pengajaran Islam di kalangan masyarakat Sulawesi Selatan diambil alih oleh orang-orang Sayid dan selanjutnya dilanjutkan oleh orang-orang lokal sendiri atau kedua-duanya.
Penemuan aksara lontarak  oleh seorang intelektual dan syahbandar Kerajaan Gowa, Daeng Pamatte,   menjadikan orang Sulawesi Selatan memiliki modal utama untuk mengakses dan mengembangkan diri dalam lapangan ilmu pengetahuan. Kemampuan menulis dan membaca dalam aksara Lontara dipadukan dengan kemampuan menulis dan membaca dalam aksara Arab. Abad ke-17 M ditandai dengan berkembangnya kesadaran intelektual umat Islam di Sulawesi Selatan, antara lain melalui perkembangan hasanah ilmu pengetahuan Islam, khususnya terjemahan. Banyak naskah ditulis dalam bahasa Arab, Bahasa daerah Makassar atau Bugis dan perpaduan keduanya yang dikenal dengan tulisan Serang (tulisan dengan akasara Arab tetapi bacaannya dengan Bahasa Makassar atau Bugis) dan bahasa Melayu. Pemeran kesadaran intelektual seperti itu adalah konfigurasi segi tiga antara orang-orang lokal,  Melayu, dan  Arab (Sayyid). Syekh Yusuf merupakan perpaduan antara ketiganya.  Selama hidupnya ia telah menulis banyak risalah tentang Islam.   Sampai sekarang  tulisan-tulisan lainnya  masih populer di kalangan orang-orang tua Bugis-Makassar.
Beberapa sumber mengindikasikan bahwa Islam yang diajarkan di masyarakat Sulawesi Selatan diwarnai oleh orientasi sufistik atau tasawuf     (Andaya :33).  Pendekatan sufistik dipandang lebih sesuai dengan alam pikiran orang Sulawesi Selatan. Ajaran tasawuf juga merupakan pilihan yang tepat untuk melakukan kompromi dengan panngadarerreng. Raja Gowa ke XV, Sultan Malikussaid,  dan raja ke XVI, Sultan Hasanuddin diduga menganut ajaran tasawuf tersebut.
Tradisi penulisan sejarah Islam di Sulawesi Selatan belum mampu mengungkapkan dinamika masyarakat Islam abad ke-2 dan ke-3 pasca Islamisasi di kawasan tersebut. Akibatnya terjadi loncatan sejarah dari abad ke-17 langsung ke abad ke-20.  Kurang terungkapnya kehidupan umat Islam pada kedua abad tersebut disebabkan oleh tidak memadainya rekaman sejarah. Sejarah pun tidak memberitahukan sesuatu mengenai orang besar  pada ke dua abad itu. Hal ini sangat berbeda dengan abad sebelumnya, yang mencatat nama-nama besar seperti Sultan Alauddin, Sultan Malikussaid, dan Sultan Hasanuddin, juga ulama besar Syekh Yusuf.  Setelah itu, seakan cerita tentang tokoh Islam harus menunggu dua abad lamanya baru sampai ke abad ke-20.
Terjadinya stagnasi dinamika Islam tidak terlepas dari pengaruh penjajahan Belanda sejak kekalahan Gowa  menjelang akhir abad ke-17.  Praktis sesudah itu ketegangan demi ketegangan terjadi antara pemerintah Belanda dengan kerajaan-kerajaan lokal. Proses enkulturasi Islam berjalan di bawah tekanan penjajah. Wajar jika kemudian institusi-institusi keagamaan tidak dapat berkembang dengan baik. Dalam keadaan seperti itu,  aktivitas keagamaan memang tetap berjalan, misalnya dalam bentuk sentra-sentra pengajian, akan  tetapi tidak ada data  yang dapat memberikan gambaran mengenai pelaksanaan dan dinamikanya.  Satu-satunya   yang mewarnai kehidupan masyarakat Islam abad 18 dan 19 adalah berkembangnya ajaran tasawuf melalui tarekat.
Ada beberapa ajaran dan kelompok tarekat yang berkembang di Sulawesi Selatan pada abad ke-18 dan abad ke 19, antara lain Tarekat  Naksyabandiah dan Tarekat Khalwatiah Yusuf. Sebelum Syekh Yusuf (1626-1699), sudah ada penganut Tarekat Naksyabandiah di Indonesia, tetapi pengikut Naksyabandiah yang pertama kali menulis tarekat ini adalah Syekh Yusuf sendiri.   Tarekat Khalwatiah (sekarang dinamai Khalwatiah Syekh Yusuf untuk membedakan Khalwatiah Samman) pertama kali dibawa ke Indonesia oleh Syekh Yusuf. Di Sulawesi Selatan dikembangkan oleh muridnya, Syekh 'Abdu Al-Basir Tuan Rappang (w. 1723),  keturunan Syekh Yusuf di Galesong (Kabupaten Takalar) mengaku pengikut Tarekat Naksyabandiah yang berasal dari Syekh Yusuf.   Tarekat Naksyabandiah sangat populer di kalangan masyarakat, dengan sebutan Kasabandiah. Ajaran-ajaran yang dinisbahkan kepada Tarekat Naksyabandiah banyak  ditemukan dalam lontarak. Sebuah lontarak dari Wajo mengemukakan ajaran Naksyabandiah seperti tafakur, nafas, muraqabah, zikr yang terdiri atas, zikr al-muraqabah, zikr al-da'im, dan zikr al-qalb. Zikr al-da’im (zikir terus menerus) bahasa Bugisnya zikkiri temmapettu (zikir tidak terputus), yaitu mengingat Tuhan terus menerus dengan cara menyebut lafal Allah ketika nafas keluar, dan menyebut lafal hu, ketika nafas masuk, sedangkan Zikr al-qalb dipergunakan terutama ketika menghadapi musuh, dengan cara membersihkan hati kemudian mengingat lafal Allah. Dengan Zikir itu diyakini Insya Allah akan memberikan pertolongan (Rahman, 1997 :21)
Orang Sulawesi Selatan yang turut mengembangkan Tarekat Naksyabandiah ialah Syekh Muhammad Fudail (pengembang Tarekat Khalwatiah Samman tahun 1820-an). Selain Fudail, juga anaknya, Abdul Gani, dan Singkeru Rukka, Ahmad Idris, Raja Bone (berkuasa 1860-1871). Tarekat ini kemudian berkembang bersamaan dengan semakin banyaknya orang-orang Sulawesi Selatan yang menerima tarekat ini di Mekah sesudah era Fudail dan murid-muridnya  (Rahman, 1997 :23)
Selain Naksyabadiah Tarekat Khalwatiah Syekh Yusuf telah berkembang sejak awal di Sulawesi Selatan.            Di Sulawesi Selatan dikenal dua aliran Tarekat Khalwatiah, yaitu Khalwatiah Yusuf dan Khalwatiah Samman. Dalam lontarak, baik dalam bahasa Makassar, Bugis, dan Mandar banyak sekali ditemukan ajaran, pesan, doa-doa yang dinisbahkan kepada Syekh Yusuf. Nama Syekh Yusuf sering ditulis Tuang ri Bantang, (Tuan di Banten), Tuangta Salama (bahasa Bugis), atau Tuangta Salamaka (bahasa Makassar) (Tuan kita yang selamat), biasa juga disingkat tuangta (Tuan kita), Tuang Loe, bahasa Makassar (Tuan yang Agung). Hal ini memberi petunjuk bahwa penghormatan yang diberikan kepada Syekh Yusuf cukup tinggi, dan pengaruhnya di Sulawesi Selatan sangat luas.
Syekh Yusuf dilahirkan di Gowa pada tahun 1626, dan ia meninggalkan Gowa menuju Mekah untuk memperdalam ilmu pada tahun 1644. Dalam Lontara Tuanta Salamaka dikatakan bahwa Syekh Yusuf dipelihara oleh Raja Gowa (Sultan Alauddin 1593-1639), setelah ia besar ia disuruh mengaji kepada Daeng ri Tasammeng, tidak lama kemudian ia tamat mengaji Alquran, saraf, nahwu, mantik, dan ilmu keislaman lainnya. Sebelum Syekh Yusuf berangkat ke Mekah, ia belajar kepada seorang ulama Arab yang bernama Sayyid Ba'lawi Abdullah Tahir yang digelar Syekh Tuan Keramat (w.1726).
Ulama yang kemudian menjadi menantu Sultan Alauddin ini mengajar di masjid Bontoala (masuk wilayah Ujungpandang sekarang) yang didirikan oleh Raja Gowa pada tahun 1635. Mesjid itu menjadi pusat pendidikan agama yang diperuntukkan kepada raja-raja dan keluarganya. Ketika Syekh Yusuf berusia 15 tahun, ia pergi ke Cikoang (masuk wilayah Takalar) pada Sayyid Jalaluddin Al-A'idid. Orang Arab ini datang pada tahun 1628, kemudian ia kawin dengan anak Karaengta ri Burakne, saudara Sultan Alauddin, pada usia 18 tahun, Syekh Yusuf meninggalkan Gowa menuju Banten, selanjutnya ke Mekah (Rahman, 1997).
Abdul Basir yang lebih populer dengan panggilan Tuang Rappang adalah murid Syekh Yusuf dan pertama kali memeperkenalkan tarekat gurunya, Syekh Yusuf di Gowa.  Ulama dari Arab ini meninggal pada tanggal 5 Mei 1723, dan dikebumikan di Rappang, kemudian dipindahkan ke Gowa pada tanggal 25 Juli tahun itu juga. Di antara pengikut Syekh Yusuf ialah Kare Nyampa yang lebih dikenal Daeng ri Tasammeng (guru mengaji kemudian menjadi murid tasawuf ?).
Pengaruh Syekh Yusuf semakin jelas di kalangan orang Bugis terutama setelah Raja Bone ke-23 La Tenri Tappu Sultan Ahmad Saleh Syams Al-Millah wa Al-Din (berkuasa 1775-1812) menulis sebuah risalah yang berjudul Al-Nur Al-Hadiy dan diperoleh juga terjemahannya dalam bahasa Bugis dengan judul "Tajang Patiroannge lao ri Laleng Malempue" (Cahaya yang membimbing ke jalan yang lurus). Pada lembaran pertama dikatakan, bahwa ketika berusia 32 tahun, risalah itu ditulis di Matekne, Maros. Penulisan risalah itu mendapat insfirasi dari hasil bacaan risalah Syekh Yusuf Taj Al-Khalwatiy, hasil diskusi dengan Faqih Yusuf, Kadi Bone, dan ditambah dengan renungan penulis sendiri. Buku itu selesai ditulis pada tanggal 15 Syaban 1202/21 Mei 1788 (Rahman, 1997).
Bontoala, Makassar, sebagai pusat pengajian sejak awal datangnya Islam, sekaligus menjadi pusat pengajaran Tarekat Syekh Yusuf.  Penyerahan kekuasaan Belanda kepada Inggris pada tahun 1811, memasukkan Makassar (Sulawesi Selatan) sebagai salah satu daerah yang diserahkan kepada Inggris. Residen Inggris, Philips, menuntut diserahkan kalompoang (benda kerajaan) Gowa yang sejak beberapa waktu lamanya disimpan oleh Raja Bone, La Tenri Tappu (w.1812), tetapi permintaan itu ditolak. Inggris juga menolak kebiasaan raja-raja di Sulawesi Selatan yang hendak melapor kepada Pembesar di Ujungpandang, harus seizin dengan Raja Bone. Pengganti La Tenri Tappu anaknya sendiri, To Appatunru lebih keras lagi menentang Inggris, bahkan ia menyerang Tallo, daerah yang sudah diserahkan Belanda kepada Inggris. Pada tahun 1814, Inggris menyerang Bontoala, pusat pemerintahan Bone (Bugis) yang dibentuk sejak Arung Palakka (w.1696) dan dapat dikalahkan, maka sejak itu pusat pemerintahan Bone di Bontoala lenyap, dan tokoh-tokoh agama, terutama keturunan Syekh Ba’lawi pindah ke Maros, termasuk institusi syara’ (syariat Islam).  Sejak itu lembaga pendidikan Islam tradisional yang dulunya berpusat di Bontoala beralih ke Maros, sehingga dikenal daerah Papandangan (sekitar Labuang) sebagai basis ulama di Maros, yang banyak melanjutkan pendidikannya di Mekah.
Pengaruh sufistik dan tarekat di Sulawesi Selatan bukan hanya berhenti sampai abad ke-19, melainkan berlanjut sampai era sesudah itu. Ulama-ulama di Sulawesi Selatan sampai pertengahan abad ke-20 dikenal sebagai penganut tarekat, meski mereka belum tentu mengembangkannya untuk orang lain. Umumnya mereka menganut     Tarekat Muhammadiah yang diterima di Mekah, di Jabal Qubais.   Tarekat Muhammadiah mulai diperkenalkan di Sulawesi Selatan  tahun 1905,  oleh seorang ulama dari Bone, Haji Husain Umar (w.1943) setelah  tinggal dan belajar di Mekah selama 16 tahun. Menyusul kemudian  pada tahun 1920-an oleh Haji Muhibuddin (w.1943) lebih dikenal dengan panggilan Gurutta Ambo Mai. Kedunya membawa tarekat ini dari Mekah.  Haji Muhammad As'ad (1907-1953) juga disebut menganut tarekat tersebut, dan ulama-ulama lainya seperti K. H. Ambo Dalle (w.1996), K. H. Muhammad Tahir (kadi Balannipa, Sinjai), K. H. Hasan (kadi Sinjai), dan K. H. Abd. Malik Parojai,  K. H. Abd. Malik, K. H. Muhammad Rafi Sulaiman, (kadi terakhir Bone), dan K.H.Muhammad Nur,  K. H. M. Yunus Martan, K. H. Daud Ismail, K. H. Abduh Pabbaja, dan K.H.Haruns Rasyid.  (Rahman, 1997).
Dari uraian di atas, dapat dipahami bahwa abad ke-18 dan ke-19 merupakan abad pertengahan dalam perjalanan Islam di Sulawesi Selatan, yang ditandai dengan belum terungkapnya fakta-fakta sejarah secara memadai. Di lain pihak, fakta sejarah itu juga menunjukkan adanya penurunan dinamika Islam ketimbang abad pertama kehadirannya di Sulawesi Selatan. Hal ini ditandai dengan tidak adanya – atau belum ditemukannya – tokoh-tokoh sejarah Islam yang bisa mewakili zamannya, yang dapat disejajarkan prestasinya dengan para penyebar Islam dan ulama atau cendekiawan serta para sultan abad sebelumnya.
Namun demikian, ada ciri dari zaman tersebut yaitu pesatnya perkembangan kehidupan tarekat yang dasar-dasarnya telah dirintis oleh Syekh Yusuf pada abad sebelumnya. Perkembangan tasawuf dan tarekat pada masa itu merupakan penyesuaian umat Islam setempat terhadap  suasana politik yang represif dari Pemerintahan Kolonial. Tasawuf dipandang  salah satu cara  pembebasan batin dari keterkungkungan dan tekanan dari luar. Perkembangan tarekat dan kehidupan tasawuf pada waktu itu mendorong munculnya pengajian-pengajian secara diaspora, sesuai dengan kondisi yang memungkinkan. Pengajian – pengajian tersebut yang sekarang dapat diidentikkan dengan pesantren,  terutama dimungkinkan oleh adanya ulama-ulama dari daerah luar misalnya dari Arab, Jawa, dan ulama-ulama lokal yang pernah belajar di Mekah. Ulama dari Jawa menggantikan posisi ulama dari Sumatera yang perannya sangat besar pada abad sebelumnya. Pada hemat penulis, tumbuhnya sentra-sentra pengajian dan munculnya ulama lokal erat kaitannya dengan potensi ekonomi masyarakat bersangkutan.
Semangat itulah yang diemban oleh para ulama khususnya ulama NU. Ajarannya antara lain bekerja sungguh-sungguh untuk memperoleh kehidupan yang layak di dunia tetapi jangan pernah mencintainya.      K.H.Sayyid Jamaluddin Puang Ramma, mengutip sebuah hadits tentang kecintaan kepada dunia : “addun-ya  bintun wa al-akhiratu ummuha.  Waman nakaha  bintun faqad harramallahu ummaha” (dunia itu laksana anak perempuan, sedangkan akhirat adalah ibunya.  Barang siapa yang menikahi anak perempuan itu, maka Allah mengharamkan baginya surga).
Beliau juga menyebutkan sebuah hadis : “kuwnuw abna’al ‘akhirah, walaa takuwnuw abna’ad dun-ya, fainna kulla ummin yatbauha waladuha” (jadilah kamu sekalian anak-anaknya akhirat dan janganlah kamu menjadi anak-anaknya dunia; karena sesungguhnya seorang ibu akan diikuti oleh anaknya).  Demikianlah mestinya sikap seorang ulama kepada dunia. Tidak boleh lebih mementingkan dunia, apalagi kalau ulama sudah berbisnis.
Ulama juga mengajarkan semangat persatuan yang dimulai dari kalangan ulama itu sendiri. Pada tahun 1947  ada undangan untuk Rabithah Ulama dari Pallengu, suatu desa pantai di Kabupaten Jeneponto, untuk menghadiri peringatan Maulid dan Peresmian sebuah mesjid di daerah itu. Berangkatlah K.H.M.Amien Nashir, K.H.Abd.Rahman Dg Situju (Imam Layang), K.H.Ahmad Bone, K.H.Muhammad Ramli dan K.H.Sayyid Jamaluddin Assegaf Puang Ramma.
Pada saat yang lain, Robithah mendapat undangan dari Datu dan Qadhi Panincong Soppeng  untuk sebuah peringatan Isra’ Mi’raj.  Ulama yang berangkat adalah  Anregurutta Ambo Dalle, Gurutta Daud Ismail, Gurutta Muin Yusuf, Gurutta Abduh Pabbaja, Gurutta Malik, dan Gurutta Abdurrahman Mattammang dan K.H.Jabbar Asiri, Gurutta Syuaib Magga, dan KHS.Jamaluddin Assegaf Puang Ramma. Acara berlangsung dari jam 20.00 sampai jam empat Subuh (K.H.S.Jamaluddin Puang Ramma, Pendiri NU Sulsel, Wawancara, Makassar, 23 Mei 2002).
Selengkapnya »»  

Sabtu, 06 April 2013

Aksi PMII Maros Dan Dusun Tallasa

















Selengkapnya »»  

Senin, 05 November 2012

Sahabat Safar terpilih Sebagai Ketua Baru PMII Maros

Konferensi Cabang III PMII Maros memilih dan menetapkan kandidat alumni Unismuh Makassar, Safaruddin, secara aklamasi, Jumat (19/10/2012).
Safaruddin mengungguli pesaingnya, Andis, karena tidak lulus kriteria ketua. Dalam konfercab ini juga di sepakati program kerja untuk satu tahun kepengurusan PMII ke depan.
Safaruddin unggul karena telah mengikuti proses kaderisasi di Maros dan berkarir di organisasi Islam ini. Sebelumnya Safaruddin menjadi pengurus cabang dan koordinator bidang kaderisasi.
"Saat ini kami concern untuk menyelesaikan segera struktur kepengurusan dalam waktu satu minggu. Selanjutnya struktur tersebut di kirim ke pengurus besar PMII di Jakarta untuk di SK kan," jelasnya di Maros.
Ratusan kader PMII Maros menghadiri konfercab di Kantor Departeman Agama lama, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan ini.
Selengkapnya »»  

Rabu, 13 Juni 2012

Strategi Pengkaderan: Mencipta Aktor Akademis Fakultatif

Sebagai organ pengkaderan, kita terus berupaya mencari konsep pengkaderan terbaik di PMII, baik dalam prespektif lokal (locus at campus) maupun cabang hingga nasional. Untuk itu kita butuh membaca berbagai kondisi objektif saat ini, melakukan otokritik dan adaptasi.

Untuk menata ruang konsep kaderisasi tersebut, sebetulnya kita butuh dealektika panjang proses kesejarahan dan perumusan cita dan penyamaan visi. Untuk menguatkan pentingnya menata ruang konsep kaderisasi yang dapat dipahami bersama itu saya mengutip apa yang pernah disampaikan K.H. Hasyim Asy’ari[1];

“Siapa yang melihat pada cermin sejarah, membuka lembaran yang tidak sedikit dari ikhwal bangsa-bangsa dan pasang surut zaman, serta apa saja yang terjadi pada mereka hingga pada saat kepunahannya, akan mengetahui bahwa kekayaan yang pernah mereka sandang dan kemuliaan yang pernah menjadi hiasan mereka, tidak lain adalah berkat apa yang secara kukuh mereka pegang, yaitu mereka bersatu dalam cita-cita, seia sekata, searah setujuan, dan pikiran-pikiran mereka seiring”

Begitupun saat kita melihat historis PMII Cabang Maros. Terbayang oleh kita Cabang pernah mengalami kebesarannya, membangun Komisariat demi Komisariat hingga mencapai tiga Komisariat. Bukankah ini sejarah yang butuh waktu untuk kita pahami, bagaimana para alumni dulu membangunnya?

Untuk itu saya berpendapat bagaimana pentingnya menyatukan serpihan pikiran untuk menyamakan persepsi, visi dan cita PMII dalam locus Maros.

Dalam buku Multi Level Strategi Gerakan PMII menyebutkan ada lima argument mengapa harus ada pengkaderan. Pertama sebagai pewarisan nilai-nilai (argumentasi idealis), kedua pemberdayaan anggota (argumentasi strategis), ketiga memperbanyak anggota (argumnetasi praktis), keempat persaingan antar kelompok (argumentasi pragmatis) da yang kelima sebagai mandate organisasi (argumnetasi administrative)[2].

Secara filosofis, pengkaderan PMII hendak mencipta manusia merdeka (independent)[3]. Sementara proses pengkaderan itu menuju pada satu titik, yakni mencipta manusia Ulul Albab. Pengertian sederhananya adalah manusia yang peka terhadap kenyataan, mengambil pelajaran dari pengalaman sejarah, giat membaca tanda-tanda alam yang kesemuanya dilakukan dalam rangka berdzikir kepada Allah SWT, berfikir dari berbagai peristiwa alam, sejarah masyarakat, serta firman-firman-Nya. Pengertian Ulul Albab ini disarikan dalam motto dizkir, fikr, amal sholeh[4].

Sayapun tertarik menulis terkait pengkaderan, sebuah perbincangan yang tidak pernah lekang oleh zaman. Sejak PMII didirikan pada tahun 1960, proses kaderisasi selalu sejalan dengan dinamika kemahasiswaan yang telah mengalami banyak perubahan. Era pra-1998 (baca: pra reformasi) misalnya mensyaratkan gerakan dalam strategi gerakan eksparlementer. Setelah itu, muncul banyak gagasan, pro dan kontra, masihkah kita tetap menggunakan strategi pada gerakan jalanan, atau kembali ke kampus.

Strategi praksiologis pengkaderan dengan optimalisasi gerakan eksparlementer mensuguhkan progresifitas, militansi dan radikalisasi massa yang tinggi. Strategi ini melahirkan kader-kader yang tangguh dalam mental dan kemampuan melakukan mobilisasi massa, mendengungkan propaganda perlawanan dan membangkitkan semangat aksi turun jalan. Tirani kekuasaan sangat absolut, mencengkram semua sektor kehidupan. Satu-satunya jalan: turun jalan!

Sebaliknya, gerakan kembali ke kampus menyuguhkan strategi kaderisasi yang berbeda. Penguasaan materi fakultatif dengan disiplin ilmu sesuai dengan jurusannya menuntut kedisiplinan yang tidak kalah sulit. Apalagi proses sehari-hari mahasiswa akademis fakultatif rawan menyuguhkan dramatologi kontradiktif: terlalu asyik mengejar nilai akademis dan melupakan tanggungjawabnya sebagai agent of change dan agent of control. Tanpa disadari aktifitas akademis tersebut membuat kita lupa diri bahwa keilmuan kita sangat ditunggu rakyat keseluruhan dalam mewujudkan tatanan kehidupan berkeadilan sosial dan kesejahteraan rakyat yang merata.

Tidak mudah memang menempa diri dalam kualitas akademis dengan menjaga semangat progressifitas terhadap kehidupan organisasi. Tuntutan demikian mengacu pada dinamika kehidupan nasional kita disuguhkan pada usaha percepatan kemajuan semua sektor, bukan hanya politik (baca: demokrasi). Jika PMII hanya berkutat pada kaderisasi aktor politik, lantas dimana tanggungjawab pengembangan IPTEK, Kedokteran, Perencanaan Pembangunan dan berbagai kajian keilmuan pada proses pengabdian dan percepatan kesejahteraan sosial rakyat yang merata?

PMII mempunyai tanggungjawab yang belum terjawab terkait kaderisasi dalam ranah profesionalitas ini. Strategi kaderisasi yang masih tunggal dan general pada politik kampus menjadi oto kritik kita. PMII masih terasa sulit beraktualisasi diri dalam organ-organ profesional seperti kelompok akuntan, para tehnokrat, enterpreneur, para tenaga sosial medis, dan lain sebagaimya.

Karena itu semestinya memang semua aplikasi keilmuan akademis kita diarahkan pada pemenuhan tanggunjawab sosial. Kader PMII tida hanya disiapkan sebagai calon pemimpin dalam ranah politik dan kekuasaan, tetapi juga mampu mengaktualkan manfaat sebesar-besarnya atas keilmuan akademisnya pada kepentingan rakyat. Sejauh ini kajian tentang tanggungjawab mahasiswa pertanian, mahasiswa psikologi atau mahasiswa teknik dan sains (misalnya) pada proses kesejahteraan rakyat masih jarang dibahas.

Menarik Minat Mahasiswa Lain

Keberadaan aktor akademis fakultatif mampu menjadi daya tarik tersendiri di hadapan mahasiswa-mahasiswa lain. Gambaran ini benar adanya, dengan saya tambahkan catatan: syaratnya mereka mampu melakukan kinerja intelektual organik[5].

Mereka cerdas dalam akademis fakultatif tidak semata untuk isi otaknya sendiri. Aktor ini menarik jika secara aktif pula melakukan kinerja intelektual organik akademis, membangun kelompok belajar atau diskusi, menjadi mitra dosen pada proses pembelajaran, dan tetap mempunyai kepercayaan diri dengan berani “membusungkan dada” ke-PMII-an. Tetap kritis namun juga bisa melakukan perilaku kooperatif. Istilah ini yang kemudian dikenal di PMII dengan sebutan kritis transformatif. Bukankah ini paradigma gerakan kita[6]?

Keberadaan mahasiswa akademis fakultatif ini juga menjadi salah satu jawaban dari banyaknya penolakan umum mahasiswa yang anti terhadap gerakan aksi turun jalan. Jika gerakan ekstraparlementer ini banyak ditolak oleh mahasiswa secara konseptual, mengapa kita tidak mencari alternatif gerakan yang juga tidak kalah mulianya? Bukankah belajar dengan kesungguhan, berbagi ilmu dan membangun tradisi pengetahuan adalah sunnah rosul, dimana nabi Muhammad SAW  juga aktif melakukan kerja-kerja penggalian khazanah keilmuan hingga melahirkan adigium zaman pendobrak jahiliah menuju tatanan yang Islami?

Tentu saja saya tidak bermaksud mengatakan bahwa PMII selama ini tidak melakukan kegiatan transformasi ilmu dan membangun tradisi pengetahuan. Tidak dapat dipugkiri lagi bahwa PMII telah memberikan segudang transformasi knowladge yang menyadarkan kita pada eksistensi manusia di tengah kehidupan sosial dengan aneka ragam pengalaman organisatoris yang tiada tara nilainya. PMII telah mendidik kita pada pembentukan karakter kader yang militan, pantang menyerah, konsisten dan bertanggungjawab. Akan tetapi point yang ingin saya suguhkan adalah penguatan membangun tradisi pengetahuan ini dalam sebuah strategi strategi kaderisasi di PMII, khususnya PMII Maros.

Apalagi memang kita tidak berhak memaksakan penguasaan keilmuan kader hanya semata dibungkus pada wilayah politik. Tema ini mungkin linier dengan sahabat-sahabat PMII yang suka dengan ilmu Politik. Lantas apakah tema ini juga menarik di mata sahabat lain, misalkan yang berasal dari jurusan Guru, Ekonomi, PAI, lebih-lebih yang berasal Kesehatan? Bukankah lebih baik mereka mendapatkan “tempat yang benar” di wilayah profesionalitas mereka, tanpa mengurangi kesempatan sedikitpun pada keseluruhan kader PMII untuk mencari pengetahuan dan pengalaman di wilayah sosial dan politik yang sudah pasti terjadi di organisasi kita?

Jika saya petakan pada keberadaan Komisariat-Komisariat yang ada di PMII Maros, maka pada dasarnya kita semua telah berusaha mengidentifikasi masing-masing Komisariat pada kebutuhan fakultatifnya. Di Komisariat STAI DDI Maros misalnya banyak kader baru dilibat aktifkan pada kegiatan di Keagamaan. Pemberian amanat, peran dan posisi yang sejalan dengan keilmuan fakultatif tersebut sangat membantu kader kita untuk mengakses pengetahuan akademis sekaligus informasi kampus, berinteraksi dengan mahasiswa dan membangun kemitraan dengan dosen.

Dari Komisariat YAPIM Misalnya yang berasal dari jurusan manajemen.Sebagai kaum professional yang lebih paham pada berbagai persoalan ekonomi dan concept of nation development, maka proyeksi kesejahteraan rakyat, kemandirian ekonomi bangsa, dan berbagai ide kreatif keluar dari kemiskinan dengan memanfaatkan peta persaingan global menjadi menarik diperbincangkan.

Begitupun yang dari Pendidikan. bukankah maju mundurnya suatu bangsa berangkat dari tonggak kualitas pendidikan kita? Sebagai calon pendidik, tentu mereka harus memperkaya diri dengan jutaan literature konsepsi pendidikan, andragogi maupun pedagogi, menguasai teknik fasilitasi, kaya akan inovasi, dan peka akan kebutuhan anak-anak bangsa pada zamannya.

Bayangkan jika lima tahun lagi system pembayaran telah dilakukan dengan system otomasi, bukankah ini akan menggusur ribuan akuntan yang tidak paham dengan kemajuan teknologi yang ada pada zaman itu? Ini hanya permisalan yang saya buat, mengukur kualitas pendidikan kita saat ini dengan percepatan kemajuan teknologi yang terus berjalan. Di sisi lain, seperti yang dipropaganadakan Paolo Ferreira, pendidikan juga dituntut tetap dalam kerangka ideologis yang mempunyai nilai membebaskan manusia, bukan malah membodohkan. Sebuah tantangan tersendiri yang tidak mudah, bukan?

Kelebihan-kelebihan kaderisasi yang berjalan massif pada kerangka fakultatif ini memang penting, sama pentingnya dengan ideologisasi organisasi PMII dalam kerangka Ahlussunah waljamaah, pemahaman pada paradigm gerakan kritis transformative, maupun aktualisasi kembali Nilai-Nilai Dasar Pergerakan dalam kehidupan sehari. Jika kelebihan-kelebihan ini mampu kita formulasikan, bukankan PMII sangat menarik untuk diikuti oleh mahasiswa di kampus-kampus yang ada di kabupaten Maros?

Membangun Karakter, Tidak Semata Tergantung Leader

Bangga dan menyenangkan akhir-akhir ini para sahabat yang aktif menulis di grup Facebook, melakukan propaganda aktif kepada sahabat-sahabati yang lain. Semangatnya luar biasa, setidaknya menurut saya pribadi. Pengaruhnyapun juga massif.

Di sisi lain kita sering menjumpai sebuah organisasi yang sangat tergantung dengan karakter leadernya. Meskipun pengaruh leader tidak dapat kita nafikan sebagai bagian dari visi misi yang dibawa. Akan tetapi karakter sosiologis, tardisi pengetahuan dan prilaku organisasi sebetulnya dapat kita bentuk secara mandiri.

Saya membuat analogi, bahwa organisasi adalah benda mati, dan yang menghidupkan dinamika di dalamnya tentu aktor-aktor organisasinya. Akan tetapi juga harus kita catat, bahwa organisasi bernama PMII ini juga eksis, berdiri dan hidup dengan karakter tersendiri. Saat semua aktor organisasi sedang tertidur pulas, bendera PMII tetap tegak berdiri dan dikenal dengan karakter organisatornya, tradisi pengetahuan yang dibangun dan prilaku organisasinya. PMII Maros tetap hidup bahkan di saat kita semua telah tiada.

Karakter tersebut yang meski kita temukan, khususnya lewat Komisariat yang sudah dikumandangkan dalam berbagai kegiatan kaderisasi. Semangat berdealektika dalam ruang fakultatif ini dapat menjadi identifikasi masing-masing Komisariat yang membangun karakternya sendiri, secara sadar dan sepenuh hati. Akumulasinya akan terwujud dalam karakter organisatoris tentang PMII Maros.

Ruang-ruang dealektis, tradisi pengetahuan dan prilaku organisasi yang dibangun menjadi strategi pembentukan karakter personal. Terlepas siapa yang memimpin, semangat aktualisasi itu tetap tumbuh. Pembentukan karakter ini juga menggugat adigium selama ini yang telah bergeser, dimana seolah ruang pendidikan hanya di ruang kelas, atau hanya dalam forum tertentu, atau juga saat ada sajian materi perkuliahan dengan menghadirkan dosen atau narasumber, atau batas-batas formalitas lain. Ada ruang-ruang pendidikan baru yang tumbuh di rutinitas sehari-hari kita dalam ranah akademis maupun organisatoris.

Terakhir, tulisan ini saya buat tanpa mengurangi rasa bangga dan hormat pada proses kaderisasi yang telah dilakukan oleh seluruh sahabat-sahabati. Kita semua tahu bahwa kader-kader PMII Maros yang ada saat ini khususnya proses pembelajaran selama lima tahun terakhir telah dilakukan dengan pengerahan sumber daya, tenaga, biaya dan waktu yang tidak sedikit. Kita telah melakukan kerja sebaik mungkin.

Namun begitu, pembacaan startegi menjadi modal reaktualisasi organisatoris yang berkesadaran (being/insan) terlepas apakah kita akan sanggup melakukan proses salah satu strategi kaderisasi di atas dengan melihat keseluruhan aktor organisasi yang ada di PMII Maros sekarang.

[1] Dalam buku “Multi Level Strategi Gerakan PMII” halaman v, PB. PMII 2006
[2] Ibid. hal. 32
[3] Ibid, baca “Profil Kader PMII, Orietasi dan Filosofi”, hal. 34
[4] Ibid, baca Profil Kader Ulul Albab, hal. 34
[5] ISTILAH intelektual organik merupakan sebutan bagi intelektual-akademisi yang mendedikasikan proses pembelajarannya sebagai upaya membuka ruang atas terjadinya gap antara teori dan praktik. Bagi mereka, tidak cukup peran intelektual jika hanya diapresiasikan lewat buku semata. Sebaliknya, lebih dari itu, perannya bagi pemberdayaan masyarakat adalah satu kewajiban yang mutlak. Istilah intelektual organic ini diperkenalkan oleh Antonio Gramschi
[6] Nalar gerak PMII secara teoretik mulai dibangun secara sistematis pada masa kepengurusan sahabat muhaimin Iskandar (Ketum) dan Rusdin M. Noor (Sekjend). Untuk pertama kalinya istilah paradigma yang popular dalam istilah Sosiologi digunakan untuk menyatakan apa yang oleh PMII disebut prinsip-prinsip dasar yang akan dijadikan acuan dalam segenap pluralitas strategi sesuai lokalitas  masalah dan medan juang. Kerangka inidapat dibaca dalam buku “”Paradigma Arus Balik Masyarakat Pinggiran”, November 1997.
Selengkapnya »»  

Mengenal Filsafat Eksistensialisme

Aliran filsafat Eksistensialisme adalah filsafat yang pemahamannya berpusat pada manusia/individu yang bertanggung jawab atas kemauannya yang bebas, tanpa mendalami nilai kebenaran sesuatu. Sebenarnya bukannya tidak mendalami atau mengetahui mana yang benar dan mana yang tidak benar, tetapi seorang eksistensialis sadar bahwa kebenaran itu relatif, maka masing-masing individu bebas menentukan sesuatu mereka anggap benar.

Eksistensialisme adalah salah satu aliran besar tradisi filsafat Barat. Eksistensialisme mempersoalkan keber-Ada-an manusia, dan keber-Ada-an itu dihadirkan lewat kebebasan. Pertanyaan utama yang berhubungan dengan eksistensialisme adalah (selalu) persoalan kebebasan. Apakah kebebasan itu? bagaimana manusia yang bebas? dan sesuai dengan ide utamanya yaitu kebebasan, eksistensialisme menolak mentah-mentah bentuk determinasi terhadap kebebasan kecuali kebebasan itu sendiri.

Filsafat eksistensialisme hadir lewat Jean Paul Sartre (versi pembelajaran filsafat di sekolahan), Sartre terkenal dengan diktumnya "human is condemned to be free", manusia dikutuk untuk bebas. Maka dengan kebebasannya itulah kemudian manusia bertindak. Pertanyaan yang paling sering muncul sebagai derivasi kebebasan eksistensialis adalah, sejauh mana kebebasan tersebut bebas? atau "dalam istilah orde baru", apakah eksistensialisme mengenal "kebebasan yang bertanggung jawab"? Bagi eksistensialis, ketika kebebasan adalah satu-satunya universalitas manusia, maka batasan dari kebebasan dari setiap individu adalah kebebasan individu lain. Namun, Bapak filsafat eksistensialisme ini adalah Søren Aabye Kierkegaard, dialah yang pertamakali mencetuskan filsafat eksistensialisme kemudian diturunkan kepada Sartre, walaupun akhirnya Sartre lebih banyak dikenal dalam studi filsafat ejsistensialisme karena karya-karyanya.

Namun, menjadi eksistensialis, bukan melulu harus menjadi seorang yang lain daripada yang lain, sadar bahwa keberadaan dunia merupakan sesuatu yang berada diluar kendali manusia, tetapi bukan membuat sesuatu yang unik ataupun yang baru yang menjadi esensi dari eksistensialisme. Membuat sebuah pilihan atas dasar keinginan sendiri, dan sadar akan tanggung jawabnya dimasa depan adalah inti dari eksistensialisme.


Søren Aabye Kierkegaard

Søren Aabye Kierkegaard lahir di Kopenhagen, Denmark, 5 Mei 1813 dan meninggal di Kopenhagen, Denmark, 11 November 1855 pada umur 42 tahun. Dia adalah seorang filsuf dan teolog abad ke-19. Kierkegaard sendiri melihat dirinya sebagai seseorang yang religius dan seorang anti-filsuf, tetapi sekarang ia dianggap sebagai bapaknya filsafat eksistensialisme. Kierkegaard menjembatani jurang yang ada antara filsafat Hegelian dan apa yang kemudian menjadi Eksistensialisme. Kierkegaard terutama adalah seorang kritikus Hegel pada masanya dan apa yang dilihatnya sebagai formalitas hampa dari Gereja Denmark. Filsafatnya merupakan sebuah reaksi terhadap dialektika Hegel.

Banyak dari karya-karya Kierkegaard membahas masalah-masalah agama seperti misalnya hakikat iman, lembaga Gereja Kristen, etika dan teologi Kristen, dan emosi serta perasaan individu ketika diperhadapkan dengan pilihan-pilihan eksistensial. Karena itu, karya Kierkegaard kadang-kadang digambarkan sebagai eksistensialisme Kristen dan psikologi eksistensial. Karena ia menulis kebanyakan karya awalnya dengan menggunakan berbagai nama samaran, yang seringkali mengomentari dan mengkritik karya-karyanya yang lain yang ditulis dengan menggunakan nama samaran lain, sangatlah sulit untuk membedakan antara apa yang benar-benar diyakini oleh Kierkegaard dengan apa yang dikemukakannya sebagai argumen dari posisi seorang pseudo-pengarang.

Ludwig Wittgenstein berpendapat bahwa Kierkegaard "sejauh ini, adalah pemikir yang paling mendalam dari abad ke-19".

Pemikiran Kierkegaard

Pemikiran Kierkegaard, sebagai kritik atas Hegel, menekankan pada aspek subjektivisme. Mengingat seluruhnya pada dasarnya adalah manifestasi dari apa yang disebut Hegel sebagai fenomenologi roh maka individu manusia direduksi menjadi kawanan. Hal ini akan melenyapkan individu dari tanggung jawab pribadinya secara etis bahkan juga melenyapkan eksistensi individu di dalam kerumunan kawanan. Penekanan pada eksistensi individu inilah yang menjadikan Kierkegaard dianggap sebagai bapak eksistensialisme yang dipopulerkan oleh Sartre kelak.

Pemikiran lain yang menarik adalah sebuah dialektika eksistensialis yang menggambarkan perkembangan religiusitas manusia dari apa yang disebutnya tahap estetis, tahap etis, hingga tahapan religius. Tahap pertama adalah tahap estetis yaitu ketika manusia bereksistensi berdasarkan prinsip kesenangan indrawi, sebagaimana arti kata estetis yang bermakna mengindra. Tokoh dalam peradaban barat yang menjadi contoh adalah Don Juan yang memburu kesenangan.

Tahapan kedua dicapai dengan satu lompatan menuju tahap dimana manusia bereksistensi dengan pertimbangan moral universal dalam kerangka benar dan salah. Tokoh yang dapat dijadikan contoh adalah Socrates yang mengorbankan dirinya demi prinsip moral universal. Tahap terakhir adalah tahap keimanan puncak yang tidak dapat dinilai dengan penilaian moral universal namun menemui sifat paradoks keimanan.

Tokoh yang dijadikan teladan adalah Ibrahim (atau Abraham) dalam kisah penyembelihan anaknya (Ishak dalam agama Kristen dan Ismail dalam agama Islam) yang tindakannya tersebut, sebagai manifestasi dari keimanannya, tidak dapat dinilai dengan penilaian moral universal. Sebuah tindakan yang mengandung dasar paradoks karena di satu sisi Ibrahim menyerahkan diri sepenuhnya, dan kehilangan segala-galanya, dengan gerakan imannya dan di sisi lain, secara bersamaan, dia mendapatkan segalanya dengan cara yang baru. Sebuah kegilaan ilahi[8], sesuatu yang tidak dikutuk tapi justru dianjurkan oleh Kierkegaard, yang akan tampak absurd apabila dimasukkan ke dalam kategori moral universal.


Sumber bacaan; Wikipedia Indonesia 
Selengkapnya »»