ISLAM DI SULSEL[1]
Oleh; Abd. Kadir Ahmad
Meski
Islam di Sulawesi Selatan disebarkan dengan menggunakan pendekatan
formal birokratis namun ajarannya ditanamkan melalui pendekatan
kultural. Tidak ada pemaksaan melalui aturan-aturan formal tentang
bagaimana ajaran agama itu harus dijalankan melalui kekuatan negara.
Pengajian merupakan tradisi lama di dalam masyarakat di Sulawesi
Selatan. Bentuknya macam-macam, termasuk seperti yang kita lakukan malam
ini. Sebelum adanya sistem pendidikan formal, pendidikan Islam
dilakukan dalam tradisi “manngaji tudang” (belajar agama dalam
posisi duduk bersila). Pengajian merupakan perkumpulan informal yang
bertujuan mengajarkan dasar-dasar agama pada mayarakat umum, sehingga
pengajian ini sangat vital sebagai usaha islamisasi terhadap
masyarakat.
Pusat pengajian di Gowa dipusatkan di Bontoala, yang dipimpin oleh
Dato ri Bandang bersama dengan ulama lainnya. Menurut riwayat, Syekh
Yusuf, seorang ulama besar pada abad ke-17 M, mengalami proses
pendidikan agama dengan pola seperti di atas. Sejak kecil, ia diajar
mengaji Alquran oleh seorang guru bernama Daeng ri Tasammang. Kemudian
dilanjutkan dengan mengikuti pengajian dari Sayed Ba’lawy bin Abdullah
al-Allamah Thahir di Bontoala, sejak tahun 1634. Dalam usia 15 tahun,
Yusuf mengunjungi ulama terkenal di Cikoang yang bernama Syekh
Jalaluddin al-Aidit yang mendirikan pengajian dalam tahun 1640. Ulama
ini datang dari Aceh melalui Kutai ke Makassar, perkawinan Syekh
Jalaluddin dengan seorang wanita Makassar di Kutai, menjadi petunjuk
baginya untuk datang ke Gowa. Raja Gowa ke-15, Sultan Malikussaid
menunjukkan tempat tinggal di daerah selatan Jazirah Sulawesi Selatan,
yaitu di Cikoang. Di samping mengajarkan Syariat Islam kepada penduduk,
beliau mendirikan pula lembaga pengajian (Abu Hamid, 1994 : 7).
Keterangan
di atas menunjukkan bahwa pada abad pertama masuknya Islam di Sulawesi
Selatan pendidikan Islam baik untuk perorangan maupun untuk kelompok
sudah berlangsung sedemikian rupa hingga mampu melahirkan seorang ulama
besar sekaliber Syekh Yusuf. Tampaknya setelah ulama perintis yang
berasal dari Sumatera, ulama yang menyambung pengajaran Islam di
kalangan masyarakat Sulawesi Selatan diambil alih oleh orang-orang Sayid
dan selanjutnya dilanjutkan oleh orang-orang lokal sendiri atau
kedua-duanya.
Penemuan
aksara lontarak oleh seorang intelektual dan syahbandar Kerajaan Gowa,
Daeng Pamatte, menjadikan orang Sulawesi Selatan memiliki modal utama
untuk mengakses dan mengembangkan diri dalam lapangan ilmu pengetahuan.
Kemampuan menulis dan membaca dalam aksara Lontara dipadukan dengan
kemampuan menulis dan membaca dalam aksara Arab. Abad ke-17 M ditandai
dengan berkembangnya kesadaran intelektual umat Islam di Sulawesi
Selatan, antara lain melalui perkembangan hasanah ilmu pengetahuan
Islam, khususnya terjemahan. Banyak naskah ditulis dalam bahasa Arab,
Bahasa daerah Makassar atau Bugis dan perpaduan keduanya yang dikenal
dengan tulisan Serang (tulisan dengan akasara Arab tetapi bacaannya
dengan Bahasa Makassar atau Bugis) dan bahasa Melayu. Pemeran kesadaran
intelektual seperti itu adalah konfigurasi segi tiga antara orang-orang
lokal, Melayu, dan Arab (Sayyid). Syekh Yusuf merupakan perpaduan
antara ketiganya. Selama hidupnya ia telah menulis banyak risalah
tentang Islam. Sampai sekarang tulisan-tulisan lainnya masih populer
di kalangan orang-orang tua Bugis-Makassar.
Beberapa
sumber mengindikasikan bahwa Islam yang diajarkan di masyarakat
Sulawesi Selatan diwarnai oleh orientasi sufistik atau tasawuf
(Andaya :33). Pendekatan sufistik dipandang lebih sesuai dengan alam
pikiran orang Sulawesi Selatan. Ajaran tasawuf juga merupakan pilihan
yang tepat untuk melakukan kompromi dengan panngadarerreng. Raja Gowa ke XV, Sultan Malikussaid, dan raja ke XVI, Sultan Hasanuddin diduga menganut ajaran tasawuf tersebut.
Tradisi penulisan sejarah Islam di Sulawesi Selatan belum mampu
mengungkapkan dinamika masyarakat Islam abad ke-2 dan ke-3 pasca
Islamisasi di kawasan tersebut. Akibatnya terjadi loncatan sejarah dari
abad ke-17 langsung ke abad ke-20. Kurang terungkapnya kehidupan umat
Islam pada kedua abad tersebut disebabkan oleh tidak memadainya rekaman
sejarah. Sejarah pun tidak memberitahukan sesuatu mengenai orang besar
pada ke dua abad itu. Hal ini sangat berbeda dengan abad sebelumnya,
yang mencatat nama-nama besar seperti Sultan Alauddin, Sultan
Malikussaid, dan Sultan Hasanuddin, juga ulama besar Syekh Yusuf.
Setelah itu, seakan cerita tentang tokoh Islam harus menunggu dua abad
lamanya baru sampai ke abad ke-20.
Terjadinya stagnasi dinamika Islam tidak terlepas dari pengaruh
penjajahan Belanda sejak kekalahan Gowa menjelang akhir abad ke-17.
Praktis sesudah itu ketegangan demi ketegangan terjadi antara pemerintah
Belanda dengan kerajaan-kerajaan lokal. Proses enkulturasi Islam
berjalan di bawah tekanan penjajah. Wajar jika kemudian
institusi-institusi keagamaan tidak dapat berkembang dengan baik. Dalam
keadaan seperti itu, aktivitas keagamaan memang tetap berjalan,
misalnya dalam bentuk sentra-sentra pengajian, akan tetapi tidak ada
data yang dapat memberikan gambaran mengenai pelaksanaan dan
dinamikanya. Satu-satunya yang mewarnai kehidupan masyarakat Islam
abad 18 dan 19 adalah berkembangnya ajaran tasawuf melalui tarekat.
Ada beberapa ajaran dan kelompok tarekat yang berkembang di Sulawesi
Selatan pada abad ke-18 dan abad ke 19, antara lain Tarekat Naksyabandiah dan
Tarekat Khalwatiah Yusuf. Sebelum Syekh Yusuf (1626-1699), sudah ada
penganut Tarekat Naksyabandiah di Indonesia, tetapi pengikut
Naksyabandiah yang pertama kali menulis tarekat ini adalah Syekh Yusuf
sendiri. Tarekat Khalwatiah (sekarang dinamai Khalwatiah Syekh Yusuf
untuk membedakan Khalwatiah Samman) pertama kali dibawa ke Indonesia
oleh Syekh Yusuf. Di Sulawesi Selatan dikembangkan oleh muridnya, Syekh
'Abdu Al-Basir Tuan Rappang (w. 1723), keturunan Syekh Yusuf di
Galesong (Kabupaten Takalar) mengaku pengikut Tarekat Naksyabandiah yang
berasal dari Syekh Yusuf. Tarekat Naksyabandiah sangat populer di
kalangan masyarakat, dengan sebutan Kasabandiah. Ajaran-ajaran
yang dinisbahkan kepada Tarekat Naksyabandiah banyak ditemukan dalam
lontarak. Sebuah lontarak dari Wajo mengemukakan ajaran Naksyabandiah
seperti tafakur, nafas, muraqabah, zikr yang terdiri atas, zikr al-muraqabah, zikr al-da'im, dan zikr al-qalb. Zikr al-da’im (zikir terus menerus) bahasa Bugisnya zikkiri temmapettu
(zikir tidak terputus), yaitu mengingat Tuhan terus menerus dengan cara
menyebut lafal Allah ketika nafas keluar, dan menyebut lafal hu, ketika nafas masuk, sedangkan Zikr al-qalb
dipergunakan terutama ketika menghadapi musuh, dengan cara membersihkan
hati kemudian mengingat lafal Allah. Dengan Zikir itu diyakini Insya
Allah akan memberikan pertolongan (Rahman, 1997 :21)
Orang Sulawesi Selatan yang turut mengembangkan Tarekat Naksyabandiah
ialah Syekh Muhammad Fudail (pengembang Tarekat Khalwatiah Samman tahun
1820-an). Selain Fudail, juga anaknya, Abdul Gani, dan Singkeru Rukka,
Ahmad Idris, Raja Bone (berkuasa 1860-1871). Tarekat ini kemudian
berkembang bersamaan dengan semakin banyaknya orang-orang Sulawesi
Selatan yang menerima tarekat ini di Mekah sesudah era Fudail dan
murid-muridnya (Rahman, 1997 :23)
Selain
Naksyabadiah Tarekat Khalwatiah Syekh Yusuf telah berkembang sejak awal
di Sulawesi Selatan. Di Sulawesi Selatan dikenal dua aliran
Tarekat Khalwatiah, yaitu Khalwatiah Yusuf dan Khalwatiah Samman. Dalam
lontarak, baik dalam bahasa Makassar, Bugis, dan Mandar banyak sekali
ditemukan ajaran, pesan, doa-doa yang dinisbahkan kepada Syekh Yusuf.
Nama Syekh Yusuf sering ditulis Tuang ri Bantang, (Tuan di Banten), Tuangta Salama (bahasa Bugis), atau Tuangta Salamaka (bahasa Makassar) (Tuan kita yang selamat), biasa juga disingkat tuangta
(Tuan kita), Tuang Loe, bahasa Makassar (Tuan yang Agung). Hal ini
memberi petunjuk bahwa penghormatan yang diberikan kepada Syekh Yusuf
cukup tinggi, dan pengaruhnya di Sulawesi Selatan sangat luas.
Syekh
Yusuf dilahirkan di Gowa pada tahun 1626, dan ia meninggalkan Gowa
menuju Mekah untuk memperdalam ilmu pada tahun 1644. Dalam Lontara Tuanta Salamaka
dikatakan bahwa Syekh Yusuf dipelihara oleh Raja Gowa (Sultan Alauddin
1593-1639), setelah ia besar ia disuruh mengaji kepada Daeng ri
Tasammeng, tidak lama kemudian ia tamat mengaji Alquran, saraf, nahwu,
mantik, dan ilmu keislaman lainnya. Sebelum Syekh Yusuf berangkat ke
Mekah, ia belajar kepada seorang ulama Arab yang bernama Sayyid Ba'lawi
Abdullah Tahir yang digelar Syekh Tuan Keramat (w.1726).
Ulama
yang kemudian menjadi menantu Sultan Alauddin ini mengajar di masjid
Bontoala (masuk wilayah Ujungpandang sekarang) yang didirikan oleh Raja
Gowa pada tahun 1635. Mesjid itu menjadi pusat pendidikan agama yang
diperuntukkan kepada raja-raja dan keluarganya. Ketika Syekh Yusuf
berusia 15 tahun, ia pergi ke Cikoang (masuk wilayah Takalar) pada
Sayyid Jalaluddin Al-A'idid. Orang Arab ini datang pada tahun 1628,
kemudian ia kawin dengan anak Karaengta ri Burakne, saudara Sultan
Alauddin, pada usia 18 tahun, Syekh Yusuf meninggalkan Gowa menuju
Banten, selanjutnya ke Mekah (Rahman, 1997).
Abdul Basir yang lebih populer dengan panggilan Tuang Rappang adalah
murid Syekh Yusuf dan pertama kali memeperkenalkan tarekat gurunya,
Syekh Yusuf di Gowa. Ulama dari Arab ini meninggal pada tanggal 5 Mei
1723, dan dikebumikan di Rappang, kemudian dipindahkan ke Gowa pada
tanggal 25 Juli tahun itu juga. Di antara pengikut Syekh Yusuf ialah
Kare Nyampa yang lebih dikenal Daeng ri Tasammeng (guru mengaji kemudian
menjadi murid tasawuf ?).
Pengaruh Syekh Yusuf semakin jelas di kalangan orang Bugis terutama
setelah Raja Bone ke-23 La Tenri Tappu Sultan Ahmad Saleh Syams
Al-Millah wa Al-Din (berkuasa 1775-1812) menulis sebuah risalah yang
berjudul Al-Nur Al-Hadiy dan diperoleh juga terjemahannya dalam bahasa Bugis dengan judul "Tajang Patiroannge lao ri Laleng Malempue"
(Cahaya yang membimbing ke jalan yang lurus). Pada lembaran pertama
dikatakan, bahwa ketika berusia 32 tahun, risalah itu ditulis di
Matekne, Maros. Penulisan risalah itu mendapat insfirasi dari hasil
bacaan risalah Syekh Yusuf Taj Al-Khalwatiy, hasil diskusi dengan Faqih
Yusuf, Kadi Bone, dan ditambah dengan renungan penulis sendiri. Buku itu
selesai ditulis pada tanggal 15 Syaban 1202/21 Mei 1788 (Rahman, 1997).
Bontoala, Makassar, sebagai pusat pengajian sejak awal datangnya Islam,
sekaligus menjadi pusat pengajaran Tarekat Syekh Yusuf. Penyerahan
kekuasaan Belanda kepada Inggris pada tahun 1811, memasukkan Makassar
(Sulawesi Selatan) sebagai salah satu daerah yang diserahkan kepada
Inggris. Residen Inggris, Philips, menuntut diserahkan kalompoang (benda
kerajaan) Gowa yang sejak beberapa waktu lamanya disimpan oleh Raja
Bone, La Tenri Tappu (w.1812), tetapi permintaan itu ditolak. Inggris
juga menolak kebiasaan raja-raja di Sulawesi Selatan yang hendak melapor
kepada Pembesar di Ujungpandang, harus seizin dengan Raja Bone.
Pengganti La Tenri Tappu anaknya sendiri, To Appatunru lebih keras lagi
menentang Inggris, bahkan ia menyerang Tallo, daerah yang sudah
diserahkan Belanda kepada Inggris. Pada tahun 1814, Inggris menyerang
Bontoala, pusat pemerintahan Bone (Bugis) yang dibentuk sejak Arung
Palakka (w.1696) dan dapat dikalahkan, maka sejak itu pusat pemerintahan
Bone di Bontoala lenyap, dan tokoh-tokoh agama, terutama keturunan
Syekh Ba’lawi pindah ke Maros, termasuk institusi syara’ (syariat
Islam). Sejak itu lembaga pendidikan Islam tradisional yang dulunya
berpusat di Bontoala beralih ke Maros, sehingga dikenal daerah
Papandangan (sekitar Labuang) sebagai basis ulama di Maros, yang banyak
melanjutkan pendidikannya di Mekah.
Pengaruh sufistik dan tarekat di Sulawesi Selatan bukan hanya berhenti
sampai abad ke-19, melainkan berlanjut sampai era sesudah itu.
Ulama-ulama di Sulawesi Selatan sampai pertengahan abad ke-20 dikenal
sebagai penganut tarekat, meski mereka belum tentu mengembangkannya
untuk orang lain. Umumnya mereka menganut Tarekat Muhammadiah yang
diterima di Mekah, di Jabal Qubais. Tarekat Muhammadiah mulai
diperkenalkan di Sulawesi Selatan tahun 1905, oleh seorang ulama dari
Bone, Haji Husain Umar (w.1943) setelah tinggal dan belajar di Mekah
selama 16 tahun. Menyusul kemudian pada tahun 1920-an oleh Haji
Muhibuddin (w.1943) lebih dikenal dengan panggilan Gurutta Ambo Mai.
Kedunya membawa tarekat ini dari Mekah. Haji Muhammad As'ad (1907-1953)
juga disebut menganut tarekat tersebut, dan ulama-ulama lainya seperti
K. H. Ambo Dalle (w.1996), K. H. Muhammad Tahir (kadi Balannipa,
Sinjai), K. H. Hasan (kadi Sinjai), dan K. H. Abd. Malik Parojai,
K. H. Abd. Malik, K. H. Muhammad Rafi Sulaiman, (kadi terakhir Bone),
dan K.H.Muhammad Nur, K. H. M. Yunus Martan, K. H. Daud Ismail,
K. H. Abduh Pabbaja, dan K.H.Haruns Rasyid. (Rahman, 1997).
Dari
uraian di atas, dapat dipahami bahwa abad ke-18 dan ke-19 merupakan
abad pertengahan dalam perjalanan Islam di Sulawesi Selatan, yang
ditandai dengan belum terungkapnya fakta-fakta sejarah secara memadai.
Di lain pihak, fakta sejarah itu juga menunjukkan adanya penurunan
dinamika Islam ketimbang abad pertama kehadirannya di Sulawesi Selatan.
Hal ini ditandai dengan tidak adanya – atau belum ditemukannya –
tokoh-tokoh sejarah Islam yang bisa mewakili zamannya, yang dapat
disejajarkan prestasinya dengan para penyebar Islam dan ulama atau
cendekiawan serta para sultan abad sebelumnya.
Namun demikian, ada ciri dari zaman tersebut yaitu pesatnya
perkembangan kehidupan tarekat yang dasar-dasarnya telah dirintis oleh
Syekh Yusuf pada abad sebelumnya. Perkembangan tasawuf dan tarekat pada
masa itu merupakan penyesuaian umat Islam setempat terhadap suasana
politik yang represif dari Pemerintahan Kolonial. Tasawuf dipandang
salah satu cara pembebasan batin dari keterkungkungan dan tekanan dari
luar. Perkembangan tarekat dan kehidupan tasawuf pada waktu itu
mendorong munculnya pengajian-pengajian secara diaspora, sesuai dengan
kondisi yang memungkinkan. Pengajian – pengajian tersebut yang sekarang
dapat diidentikkan dengan pesantren, terutama dimungkinkan oleh adanya
ulama-ulama dari daerah luar misalnya dari Arab, Jawa, dan ulama-ulama
lokal yang pernah belajar di Mekah. Ulama dari Jawa menggantikan posisi
ulama dari Sumatera yang perannya sangat besar pada abad sebelumnya.
Pada hemat penulis, tumbuhnya sentra-sentra pengajian dan munculnya
ulama lokal erat kaitannya dengan potensi ekonomi masyarakat
bersangkutan.
Semangat itulah yang diemban oleh para ulama khususnya ulama NU.
Ajarannya antara lain bekerja sungguh-sungguh untuk memperoleh kehidupan
yang layak di dunia tetapi jangan pernah mencintainya. K.H.Sayyid
Jamaluddin Puang Ramma, mengutip sebuah hadits tentang kecintaan kepada
dunia : “addun-ya bintun wa al-akhiratu ummuha. Waman nakaha bintun faqad harramallahu ummaha”
(dunia itu laksana anak perempuan, sedangkan akhirat adalah ibunya.
Barang siapa yang menikahi anak perempuan itu, maka Allah mengharamkan
baginya surga).
Beliau juga menyebutkan sebuah hadis : “kuwnuw abna’al ‘akhirah, walaa takuwnuw abna’ad dun-ya, fainna kulla ummin yatbauha waladuha”
(jadilah kamu sekalian anak-anaknya akhirat dan janganlah kamu menjadi
anak-anaknya dunia; karena sesungguhnya seorang ibu akan diikuti oleh
anaknya). Demikianlah mestinya sikap seorang ulama kepada dunia. Tidak
boleh lebih mementingkan dunia, apalagi kalau ulama sudah berbisnis.
Ulama
juga mengajarkan semangat persatuan yang dimulai dari kalangan ulama
itu sendiri. Pada tahun 1947 ada undangan untuk Rabithah Ulama dari
Pallengu, suatu desa pantai di Kabupaten Jeneponto, untuk menghadiri
peringatan Maulid dan Peresmian sebuah mesjid di daerah itu.
Berangkatlah K.H.M.Amien Nashir, K.H.Abd.Rahman Dg Situju (Imam Layang),
K.H.Ahmad Bone, K.H.Muhammad Ramli dan K.H.Sayyid Jamaluddin Assegaf
Puang Ramma.
Pada saat yang lain, Robithah mendapat undangan dari Datu dan Qadhi
Panincong Soppeng untuk sebuah peringatan Isra’ Mi’raj. Ulama yang
berangkat adalah Anregurutta Ambo Dalle, Gurutta Daud Ismail, Gurutta
Muin Yusuf, Gurutta Abduh Pabbaja, Gurutta Malik, dan Gurutta
Abdurrahman Mattammang dan K.H.Jabbar Asiri, Gurutta Syuaib Magga, dan
KHS.Jamaluddin Assegaf Puang Ramma. Acara berlangsung dari jam 20.00
sampai jam empat Subuh (K.H.S.Jamaluddin Puang Ramma, Pendiri NU Sulsel,
Wawancara, Makassar, 23 Mei 2002).