Pages

Kamis, 11 Desember 2014

PERAN SUFISTIK DALAM PENYEBARAN DAN PENGEMBANGAN

ISLAM  DI SULSEL[1]
Oleh; Abd. Kadir Ahmad
Meski Islam di Sulawesi Selatan disebarkan dengan menggunakan pendekatan formal birokratis namun ajarannya ditanamkan melalui pendekatan kultural. Tidak ada pemaksaan melalui aturan-aturan formal tentang bagaimana ajaran agama itu harus dijalankan melalui kekuatan negara.
Pengajian merupakan tradisi lama di dalam masyarakat di Sulawesi Selatan. Bentuknya macam-macam, termasuk seperti yang kita lakukan malam ini.  Sebelum adanya sistem pendidikan formal, pendidikan Islam  dilakukan dalam tradisi “manngaji tudang” (belajar agama dalam posisi duduk bersila). Pengajian merupakan perkumpulan informal yang bertujuan mengajarkan dasar-dasar agama pada mayarakat umum, sehingga pengajian ini sangat  vital  sebagai usaha islamisasi terhadap masyarakat.
Pusat pengajian di Gowa dipusatkan di Bontoala,  yang dipimpin oleh Dato ri Bandang bersama dengan ulama lainnya. Menurut riwayat, Syekh Yusuf, seorang ulama besar pada abad ke-17 M, mengalami proses pendidikan agama dengan pola seperti di atas. Sejak kecil, ia diajar mengaji Alquran oleh seorang guru bernama Daeng ri Tasammang. Kemudian dilanjutkan dengan mengikuti pengajian dari Sayed Ba’lawy bin Abdullah al-Allamah Thahir di Bontoala, sejak tahun 1634.   Dalam usia 15 tahun, Yusuf mengunjungi ulama terkenal di Cikoang yang bernama Syekh Jalaluddin al-Aidit yang mendirikan pengajian dalam tahun 1640. Ulama ini datang dari Aceh melalui Kutai ke Makassar, perkawinan Syekh Jalaluddin dengan seorang wanita Makassar di Kutai, menjadi petunjuk baginya untuk datang ke Gowa. Raja Gowa ke-15, Sultan Malikussaid menunjukkan tempat tinggal di daerah selatan Jazirah Sulawesi Selatan, yaitu di Cikoang. Di samping mengajarkan Syariat Islam kepada penduduk, beliau mendirikan pula lembaga pengajian (Abu Hamid, 1994 : 7).
Keterangan di atas menunjukkan bahwa pada abad pertama masuknya Islam di Sulawesi Selatan  pendidikan Islam baik untuk perorangan maupun untuk kelompok sudah berlangsung sedemikian rupa hingga mampu melahirkan seorang ulama besar sekaliber Syekh Yusuf.  Tampaknya setelah ulama perintis yang berasal dari Sumatera, ulama  yang menyambung pengajaran Islam di kalangan masyarakat Sulawesi Selatan diambil alih oleh orang-orang Sayid dan selanjutnya dilanjutkan oleh orang-orang lokal sendiri atau kedua-duanya.
Penemuan aksara lontarak  oleh seorang intelektual dan syahbandar Kerajaan Gowa, Daeng Pamatte,   menjadikan orang Sulawesi Selatan memiliki modal utama untuk mengakses dan mengembangkan diri dalam lapangan ilmu pengetahuan. Kemampuan menulis dan membaca dalam aksara Lontara dipadukan dengan kemampuan menulis dan membaca dalam aksara Arab. Abad ke-17 M ditandai dengan berkembangnya kesadaran intelektual umat Islam di Sulawesi Selatan, antara lain melalui perkembangan hasanah ilmu pengetahuan Islam, khususnya terjemahan. Banyak naskah ditulis dalam bahasa Arab, Bahasa daerah Makassar atau Bugis dan perpaduan keduanya yang dikenal dengan tulisan Serang (tulisan dengan akasara Arab tetapi bacaannya dengan Bahasa Makassar atau Bugis) dan bahasa Melayu. Pemeran kesadaran intelektual seperti itu adalah konfigurasi segi tiga antara orang-orang lokal,  Melayu, dan  Arab (Sayyid). Syekh Yusuf merupakan perpaduan antara ketiganya.  Selama hidupnya ia telah menulis banyak risalah tentang Islam.   Sampai sekarang  tulisan-tulisan lainnya  masih populer di kalangan orang-orang tua Bugis-Makassar.
Beberapa sumber mengindikasikan bahwa Islam yang diajarkan di masyarakat Sulawesi Selatan diwarnai oleh orientasi sufistik atau tasawuf     (Andaya :33).  Pendekatan sufistik dipandang lebih sesuai dengan alam pikiran orang Sulawesi Selatan. Ajaran tasawuf juga merupakan pilihan yang tepat untuk melakukan kompromi dengan panngadarerreng. Raja Gowa ke XV, Sultan Malikussaid,  dan raja ke XVI, Sultan Hasanuddin diduga menganut ajaran tasawuf tersebut.
Tradisi penulisan sejarah Islam di Sulawesi Selatan belum mampu mengungkapkan dinamika masyarakat Islam abad ke-2 dan ke-3 pasca Islamisasi di kawasan tersebut. Akibatnya terjadi loncatan sejarah dari abad ke-17 langsung ke abad ke-20.  Kurang terungkapnya kehidupan umat Islam pada kedua abad tersebut disebabkan oleh tidak memadainya rekaman sejarah. Sejarah pun tidak memberitahukan sesuatu mengenai orang besar  pada ke dua abad itu. Hal ini sangat berbeda dengan abad sebelumnya, yang mencatat nama-nama besar seperti Sultan Alauddin, Sultan Malikussaid, dan Sultan Hasanuddin, juga ulama besar Syekh Yusuf.  Setelah itu, seakan cerita tentang tokoh Islam harus menunggu dua abad lamanya baru sampai ke abad ke-20.
Terjadinya stagnasi dinamika Islam tidak terlepas dari pengaruh penjajahan Belanda sejak kekalahan Gowa  menjelang akhir abad ke-17.  Praktis sesudah itu ketegangan demi ketegangan terjadi antara pemerintah Belanda dengan kerajaan-kerajaan lokal. Proses enkulturasi Islam berjalan di bawah tekanan penjajah. Wajar jika kemudian institusi-institusi keagamaan tidak dapat berkembang dengan baik. Dalam keadaan seperti itu,  aktivitas keagamaan memang tetap berjalan, misalnya dalam bentuk sentra-sentra pengajian, akan  tetapi tidak ada data  yang dapat memberikan gambaran mengenai pelaksanaan dan dinamikanya.  Satu-satunya   yang mewarnai kehidupan masyarakat Islam abad 18 dan 19 adalah berkembangnya ajaran tasawuf melalui tarekat.
Ada beberapa ajaran dan kelompok tarekat yang berkembang di Sulawesi Selatan pada abad ke-18 dan abad ke 19, antara lain Tarekat  Naksyabandiah dan Tarekat Khalwatiah Yusuf. Sebelum Syekh Yusuf (1626-1699), sudah ada penganut Tarekat Naksyabandiah di Indonesia, tetapi pengikut Naksyabandiah yang pertama kali menulis tarekat ini adalah Syekh Yusuf sendiri.   Tarekat Khalwatiah (sekarang dinamai Khalwatiah Syekh Yusuf untuk membedakan Khalwatiah Samman) pertama kali dibawa ke Indonesia oleh Syekh Yusuf. Di Sulawesi Selatan dikembangkan oleh muridnya, Syekh 'Abdu Al-Basir Tuan Rappang (w. 1723),  keturunan Syekh Yusuf di Galesong (Kabupaten Takalar) mengaku pengikut Tarekat Naksyabandiah yang berasal dari Syekh Yusuf.   Tarekat Naksyabandiah sangat populer di kalangan masyarakat, dengan sebutan Kasabandiah. Ajaran-ajaran yang dinisbahkan kepada Tarekat Naksyabandiah banyak  ditemukan dalam lontarak. Sebuah lontarak dari Wajo mengemukakan ajaran Naksyabandiah seperti tafakur, nafas, muraqabah, zikr yang terdiri atas, zikr al-muraqabah, zikr al-da'im, dan zikr al-qalb. Zikr al-da’im (zikir terus menerus) bahasa Bugisnya zikkiri temmapettu (zikir tidak terputus), yaitu mengingat Tuhan terus menerus dengan cara menyebut lafal Allah ketika nafas keluar, dan menyebut lafal hu, ketika nafas masuk, sedangkan Zikr al-qalb dipergunakan terutama ketika menghadapi musuh, dengan cara membersihkan hati kemudian mengingat lafal Allah. Dengan Zikir itu diyakini Insya Allah akan memberikan pertolongan (Rahman, 1997 :21)
Orang Sulawesi Selatan yang turut mengembangkan Tarekat Naksyabandiah ialah Syekh Muhammad Fudail (pengembang Tarekat Khalwatiah Samman tahun 1820-an). Selain Fudail, juga anaknya, Abdul Gani, dan Singkeru Rukka, Ahmad Idris, Raja Bone (berkuasa 1860-1871). Tarekat ini kemudian berkembang bersamaan dengan semakin banyaknya orang-orang Sulawesi Selatan yang menerima tarekat ini di Mekah sesudah era Fudail dan murid-muridnya  (Rahman, 1997 :23)
Selain Naksyabadiah Tarekat Khalwatiah Syekh Yusuf telah berkembang sejak awal di Sulawesi Selatan.            Di Sulawesi Selatan dikenal dua aliran Tarekat Khalwatiah, yaitu Khalwatiah Yusuf dan Khalwatiah Samman. Dalam lontarak, baik dalam bahasa Makassar, Bugis, dan Mandar banyak sekali ditemukan ajaran, pesan, doa-doa yang dinisbahkan kepada Syekh Yusuf. Nama Syekh Yusuf sering ditulis Tuang ri Bantang, (Tuan di Banten), Tuangta Salama (bahasa Bugis), atau Tuangta Salamaka (bahasa Makassar) (Tuan kita yang selamat), biasa juga disingkat tuangta (Tuan kita), Tuang Loe, bahasa Makassar (Tuan yang Agung). Hal ini memberi petunjuk bahwa penghormatan yang diberikan kepada Syekh Yusuf cukup tinggi, dan pengaruhnya di Sulawesi Selatan sangat luas.
Syekh Yusuf dilahirkan di Gowa pada tahun 1626, dan ia meninggalkan Gowa menuju Mekah untuk memperdalam ilmu pada tahun 1644. Dalam Lontara Tuanta Salamaka dikatakan bahwa Syekh Yusuf dipelihara oleh Raja Gowa (Sultan Alauddin 1593-1639), setelah ia besar ia disuruh mengaji kepada Daeng ri Tasammeng, tidak lama kemudian ia tamat mengaji Alquran, saraf, nahwu, mantik, dan ilmu keislaman lainnya. Sebelum Syekh Yusuf berangkat ke Mekah, ia belajar kepada seorang ulama Arab yang bernama Sayyid Ba'lawi Abdullah Tahir yang digelar Syekh Tuan Keramat (w.1726).
Ulama yang kemudian menjadi menantu Sultan Alauddin ini mengajar di masjid Bontoala (masuk wilayah Ujungpandang sekarang) yang didirikan oleh Raja Gowa pada tahun 1635. Mesjid itu menjadi pusat pendidikan agama yang diperuntukkan kepada raja-raja dan keluarganya. Ketika Syekh Yusuf berusia 15 tahun, ia pergi ke Cikoang (masuk wilayah Takalar) pada Sayyid Jalaluddin Al-A'idid. Orang Arab ini datang pada tahun 1628, kemudian ia kawin dengan anak Karaengta ri Burakne, saudara Sultan Alauddin, pada usia 18 tahun, Syekh Yusuf meninggalkan Gowa menuju Banten, selanjutnya ke Mekah (Rahman, 1997).
Abdul Basir yang lebih populer dengan panggilan Tuang Rappang adalah murid Syekh Yusuf dan pertama kali memeperkenalkan tarekat gurunya, Syekh Yusuf di Gowa.  Ulama dari Arab ini meninggal pada tanggal 5 Mei 1723, dan dikebumikan di Rappang, kemudian dipindahkan ke Gowa pada tanggal 25 Juli tahun itu juga. Di antara pengikut Syekh Yusuf ialah Kare Nyampa yang lebih dikenal Daeng ri Tasammeng (guru mengaji kemudian menjadi murid tasawuf ?).
Pengaruh Syekh Yusuf semakin jelas di kalangan orang Bugis terutama setelah Raja Bone ke-23 La Tenri Tappu Sultan Ahmad Saleh Syams Al-Millah wa Al-Din (berkuasa 1775-1812) menulis sebuah risalah yang berjudul Al-Nur Al-Hadiy dan diperoleh juga terjemahannya dalam bahasa Bugis dengan judul "Tajang Patiroannge lao ri Laleng Malempue" (Cahaya yang membimbing ke jalan yang lurus). Pada lembaran pertama dikatakan, bahwa ketika berusia 32 tahun, risalah itu ditulis di Matekne, Maros. Penulisan risalah itu mendapat insfirasi dari hasil bacaan risalah Syekh Yusuf Taj Al-Khalwatiy, hasil diskusi dengan Faqih Yusuf, Kadi Bone, dan ditambah dengan renungan penulis sendiri. Buku itu selesai ditulis pada tanggal 15 Syaban 1202/21 Mei 1788 (Rahman, 1997).
Bontoala, Makassar, sebagai pusat pengajian sejak awal datangnya Islam, sekaligus menjadi pusat pengajaran Tarekat Syekh Yusuf.  Penyerahan kekuasaan Belanda kepada Inggris pada tahun 1811, memasukkan Makassar (Sulawesi Selatan) sebagai salah satu daerah yang diserahkan kepada Inggris. Residen Inggris, Philips, menuntut diserahkan kalompoang (benda kerajaan) Gowa yang sejak beberapa waktu lamanya disimpan oleh Raja Bone, La Tenri Tappu (w.1812), tetapi permintaan itu ditolak. Inggris juga menolak kebiasaan raja-raja di Sulawesi Selatan yang hendak melapor kepada Pembesar di Ujungpandang, harus seizin dengan Raja Bone. Pengganti La Tenri Tappu anaknya sendiri, To Appatunru lebih keras lagi menentang Inggris, bahkan ia menyerang Tallo, daerah yang sudah diserahkan Belanda kepada Inggris. Pada tahun 1814, Inggris menyerang Bontoala, pusat pemerintahan Bone (Bugis) yang dibentuk sejak Arung Palakka (w.1696) dan dapat dikalahkan, maka sejak itu pusat pemerintahan Bone di Bontoala lenyap, dan tokoh-tokoh agama, terutama keturunan Syekh Ba’lawi pindah ke Maros, termasuk institusi syara’ (syariat Islam).  Sejak itu lembaga pendidikan Islam tradisional yang dulunya berpusat di Bontoala beralih ke Maros, sehingga dikenal daerah Papandangan (sekitar Labuang) sebagai basis ulama di Maros, yang banyak melanjutkan pendidikannya di Mekah.
Pengaruh sufistik dan tarekat di Sulawesi Selatan bukan hanya berhenti sampai abad ke-19, melainkan berlanjut sampai era sesudah itu. Ulama-ulama di Sulawesi Selatan sampai pertengahan abad ke-20 dikenal sebagai penganut tarekat, meski mereka belum tentu mengembangkannya untuk orang lain. Umumnya mereka menganut     Tarekat Muhammadiah yang diterima di Mekah, di Jabal Qubais.   Tarekat Muhammadiah mulai diperkenalkan di Sulawesi Selatan  tahun 1905,  oleh seorang ulama dari Bone, Haji Husain Umar (w.1943) setelah  tinggal dan belajar di Mekah selama 16 tahun. Menyusul kemudian  pada tahun 1920-an oleh Haji Muhibuddin (w.1943) lebih dikenal dengan panggilan Gurutta Ambo Mai. Kedunya membawa tarekat ini dari Mekah.  Haji Muhammad As'ad (1907-1953) juga disebut menganut tarekat tersebut, dan ulama-ulama lainya seperti K. H. Ambo Dalle (w.1996), K. H. Muhammad Tahir (kadi Balannipa, Sinjai), K. H. Hasan (kadi Sinjai), dan K. H. Abd. Malik Parojai,  K. H. Abd. Malik, K. H. Muhammad Rafi Sulaiman, (kadi terakhir Bone), dan K.H.Muhammad Nur,  K. H. M. Yunus Martan, K. H. Daud Ismail, K. H. Abduh Pabbaja, dan K.H.Haruns Rasyid.  (Rahman, 1997).
Dari uraian di atas, dapat dipahami bahwa abad ke-18 dan ke-19 merupakan abad pertengahan dalam perjalanan Islam di Sulawesi Selatan, yang ditandai dengan belum terungkapnya fakta-fakta sejarah secara memadai. Di lain pihak, fakta sejarah itu juga menunjukkan adanya penurunan dinamika Islam ketimbang abad pertama kehadirannya di Sulawesi Selatan. Hal ini ditandai dengan tidak adanya – atau belum ditemukannya – tokoh-tokoh sejarah Islam yang bisa mewakili zamannya, yang dapat disejajarkan prestasinya dengan para penyebar Islam dan ulama atau cendekiawan serta para sultan abad sebelumnya.
Namun demikian, ada ciri dari zaman tersebut yaitu pesatnya perkembangan kehidupan tarekat yang dasar-dasarnya telah dirintis oleh Syekh Yusuf pada abad sebelumnya. Perkembangan tasawuf dan tarekat pada masa itu merupakan penyesuaian umat Islam setempat terhadap  suasana politik yang represif dari Pemerintahan Kolonial. Tasawuf dipandang  salah satu cara  pembebasan batin dari keterkungkungan dan tekanan dari luar. Perkembangan tarekat dan kehidupan tasawuf pada waktu itu mendorong munculnya pengajian-pengajian secara diaspora, sesuai dengan kondisi yang memungkinkan. Pengajian – pengajian tersebut yang sekarang dapat diidentikkan dengan pesantren,  terutama dimungkinkan oleh adanya ulama-ulama dari daerah luar misalnya dari Arab, Jawa, dan ulama-ulama lokal yang pernah belajar di Mekah. Ulama dari Jawa menggantikan posisi ulama dari Sumatera yang perannya sangat besar pada abad sebelumnya. Pada hemat penulis, tumbuhnya sentra-sentra pengajian dan munculnya ulama lokal erat kaitannya dengan potensi ekonomi masyarakat bersangkutan.
Semangat itulah yang diemban oleh para ulama khususnya ulama NU. Ajarannya antara lain bekerja sungguh-sungguh untuk memperoleh kehidupan yang layak di dunia tetapi jangan pernah mencintainya.      K.H.Sayyid Jamaluddin Puang Ramma, mengutip sebuah hadits tentang kecintaan kepada dunia : “addun-ya  bintun wa al-akhiratu ummuha.  Waman nakaha  bintun faqad harramallahu ummaha” (dunia itu laksana anak perempuan, sedangkan akhirat adalah ibunya.  Barang siapa yang menikahi anak perempuan itu, maka Allah mengharamkan baginya surga).
Beliau juga menyebutkan sebuah hadis : “kuwnuw abna’al ‘akhirah, walaa takuwnuw abna’ad dun-ya, fainna kulla ummin yatbauha waladuha” (jadilah kamu sekalian anak-anaknya akhirat dan janganlah kamu menjadi anak-anaknya dunia; karena sesungguhnya seorang ibu akan diikuti oleh anaknya).  Demikianlah mestinya sikap seorang ulama kepada dunia. Tidak boleh lebih mementingkan dunia, apalagi kalau ulama sudah berbisnis.
Ulama juga mengajarkan semangat persatuan yang dimulai dari kalangan ulama itu sendiri. Pada tahun 1947  ada undangan untuk Rabithah Ulama dari Pallengu, suatu desa pantai di Kabupaten Jeneponto, untuk menghadiri peringatan Maulid dan Peresmian sebuah mesjid di daerah itu. Berangkatlah K.H.M.Amien Nashir, K.H.Abd.Rahman Dg Situju (Imam Layang), K.H.Ahmad Bone, K.H.Muhammad Ramli dan K.H.Sayyid Jamaluddin Assegaf Puang Ramma.
Pada saat yang lain, Robithah mendapat undangan dari Datu dan Qadhi Panincong Soppeng  untuk sebuah peringatan Isra’ Mi’raj.  Ulama yang berangkat adalah  Anregurutta Ambo Dalle, Gurutta Daud Ismail, Gurutta Muin Yusuf, Gurutta Abduh Pabbaja, Gurutta Malik, dan Gurutta Abdurrahman Mattammang dan K.H.Jabbar Asiri, Gurutta Syuaib Magga, dan KHS.Jamaluddin Assegaf Puang Ramma. Acara berlangsung dari jam 20.00 sampai jam empat Subuh (K.H.S.Jamaluddin Puang Ramma, Pendiri NU Sulsel, Wawancara, Makassar, 23 Mei 2002).

0 komentar:

Posting Komentar