Pages

Kamis, 11 Desember 2014

PERAN SUFISTIK DALAM PENYEBARAN DAN PENGEMBANGAN

ISLAM  DI SULSEL[1]
Oleh; Abd. Kadir Ahmad
Meski Islam di Sulawesi Selatan disebarkan dengan menggunakan pendekatan formal birokratis namun ajarannya ditanamkan melalui pendekatan kultural. Tidak ada pemaksaan melalui aturan-aturan formal tentang bagaimana ajaran agama itu harus dijalankan melalui kekuatan negara.
Pengajian merupakan tradisi lama di dalam masyarakat di Sulawesi Selatan. Bentuknya macam-macam, termasuk seperti yang kita lakukan malam ini.  Sebelum adanya sistem pendidikan formal, pendidikan Islam  dilakukan dalam tradisi “manngaji tudang” (belajar agama dalam posisi duduk bersila). Pengajian merupakan perkumpulan informal yang bertujuan mengajarkan dasar-dasar agama pada mayarakat umum, sehingga pengajian ini sangat  vital  sebagai usaha islamisasi terhadap masyarakat.
Pusat pengajian di Gowa dipusatkan di Bontoala,  yang dipimpin oleh Dato ri Bandang bersama dengan ulama lainnya. Menurut riwayat, Syekh Yusuf, seorang ulama besar pada abad ke-17 M, mengalami proses pendidikan agama dengan pola seperti di atas. Sejak kecil, ia diajar mengaji Alquran oleh seorang guru bernama Daeng ri Tasammang. Kemudian dilanjutkan dengan mengikuti pengajian dari Sayed Ba’lawy bin Abdullah al-Allamah Thahir di Bontoala, sejak tahun 1634.   Dalam usia 15 tahun, Yusuf mengunjungi ulama terkenal di Cikoang yang bernama Syekh Jalaluddin al-Aidit yang mendirikan pengajian dalam tahun 1640. Ulama ini datang dari Aceh melalui Kutai ke Makassar, perkawinan Syekh Jalaluddin dengan seorang wanita Makassar di Kutai, menjadi petunjuk baginya untuk datang ke Gowa. Raja Gowa ke-15, Sultan Malikussaid menunjukkan tempat tinggal di daerah selatan Jazirah Sulawesi Selatan, yaitu di Cikoang. Di samping mengajarkan Syariat Islam kepada penduduk, beliau mendirikan pula lembaga pengajian (Abu Hamid, 1994 : 7).
Keterangan di atas menunjukkan bahwa pada abad pertama masuknya Islam di Sulawesi Selatan  pendidikan Islam baik untuk perorangan maupun untuk kelompok sudah berlangsung sedemikian rupa hingga mampu melahirkan seorang ulama besar sekaliber Syekh Yusuf.  Tampaknya setelah ulama perintis yang berasal dari Sumatera, ulama  yang menyambung pengajaran Islam di kalangan masyarakat Sulawesi Selatan diambil alih oleh orang-orang Sayid dan selanjutnya dilanjutkan oleh orang-orang lokal sendiri atau kedua-duanya.
Penemuan aksara lontarak  oleh seorang intelektual dan syahbandar Kerajaan Gowa, Daeng Pamatte,   menjadikan orang Sulawesi Selatan memiliki modal utama untuk mengakses dan mengembangkan diri dalam lapangan ilmu pengetahuan. Kemampuan menulis dan membaca dalam aksara Lontara dipadukan dengan kemampuan menulis dan membaca dalam aksara Arab. Abad ke-17 M ditandai dengan berkembangnya kesadaran intelektual umat Islam di Sulawesi Selatan, antara lain melalui perkembangan hasanah ilmu pengetahuan Islam, khususnya terjemahan. Banyak naskah ditulis dalam bahasa Arab, Bahasa daerah Makassar atau Bugis dan perpaduan keduanya yang dikenal dengan tulisan Serang (tulisan dengan akasara Arab tetapi bacaannya dengan Bahasa Makassar atau Bugis) dan bahasa Melayu. Pemeran kesadaran intelektual seperti itu adalah konfigurasi segi tiga antara orang-orang lokal,  Melayu, dan  Arab (Sayyid). Syekh Yusuf merupakan perpaduan antara ketiganya.  Selama hidupnya ia telah menulis banyak risalah tentang Islam.   Sampai sekarang  tulisan-tulisan lainnya  masih populer di kalangan orang-orang tua Bugis-Makassar.
Beberapa sumber mengindikasikan bahwa Islam yang diajarkan di masyarakat Sulawesi Selatan diwarnai oleh orientasi sufistik atau tasawuf     (Andaya :33).  Pendekatan sufistik dipandang lebih sesuai dengan alam pikiran orang Sulawesi Selatan. Ajaran tasawuf juga merupakan pilihan yang tepat untuk melakukan kompromi dengan panngadarerreng. Raja Gowa ke XV, Sultan Malikussaid,  dan raja ke XVI, Sultan Hasanuddin diduga menganut ajaran tasawuf tersebut.
Tradisi penulisan sejarah Islam di Sulawesi Selatan belum mampu mengungkapkan dinamika masyarakat Islam abad ke-2 dan ke-3 pasca Islamisasi di kawasan tersebut. Akibatnya terjadi loncatan sejarah dari abad ke-17 langsung ke abad ke-20.  Kurang terungkapnya kehidupan umat Islam pada kedua abad tersebut disebabkan oleh tidak memadainya rekaman sejarah. Sejarah pun tidak memberitahukan sesuatu mengenai orang besar  pada ke dua abad itu. Hal ini sangat berbeda dengan abad sebelumnya, yang mencatat nama-nama besar seperti Sultan Alauddin, Sultan Malikussaid, dan Sultan Hasanuddin, juga ulama besar Syekh Yusuf.  Setelah itu, seakan cerita tentang tokoh Islam harus menunggu dua abad lamanya baru sampai ke abad ke-20.
Terjadinya stagnasi dinamika Islam tidak terlepas dari pengaruh penjajahan Belanda sejak kekalahan Gowa  menjelang akhir abad ke-17.  Praktis sesudah itu ketegangan demi ketegangan terjadi antara pemerintah Belanda dengan kerajaan-kerajaan lokal. Proses enkulturasi Islam berjalan di bawah tekanan penjajah. Wajar jika kemudian institusi-institusi keagamaan tidak dapat berkembang dengan baik. Dalam keadaan seperti itu,  aktivitas keagamaan memang tetap berjalan, misalnya dalam bentuk sentra-sentra pengajian, akan  tetapi tidak ada data  yang dapat memberikan gambaran mengenai pelaksanaan dan dinamikanya.  Satu-satunya   yang mewarnai kehidupan masyarakat Islam abad 18 dan 19 adalah berkembangnya ajaran tasawuf melalui tarekat.
Ada beberapa ajaran dan kelompok tarekat yang berkembang di Sulawesi Selatan pada abad ke-18 dan abad ke 19, antara lain Tarekat  Naksyabandiah dan Tarekat Khalwatiah Yusuf. Sebelum Syekh Yusuf (1626-1699), sudah ada penganut Tarekat Naksyabandiah di Indonesia, tetapi pengikut Naksyabandiah yang pertama kali menulis tarekat ini adalah Syekh Yusuf sendiri.   Tarekat Khalwatiah (sekarang dinamai Khalwatiah Syekh Yusuf untuk membedakan Khalwatiah Samman) pertama kali dibawa ke Indonesia oleh Syekh Yusuf. Di Sulawesi Selatan dikembangkan oleh muridnya, Syekh 'Abdu Al-Basir Tuan Rappang (w. 1723),  keturunan Syekh Yusuf di Galesong (Kabupaten Takalar) mengaku pengikut Tarekat Naksyabandiah yang berasal dari Syekh Yusuf.   Tarekat Naksyabandiah sangat populer di kalangan masyarakat, dengan sebutan Kasabandiah. Ajaran-ajaran yang dinisbahkan kepada Tarekat Naksyabandiah banyak  ditemukan dalam lontarak. Sebuah lontarak dari Wajo mengemukakan ajaran Naksyabandiah seperti tafakur, nafas, muraqabah, zikr yang terdiri atas, zikr al-muraqabah, zikr al-da'im, dan zikr al-qalb. Zikr al-da’im (zikir terus menerus) bahasa Bugisnya zikkiri temmapettu (zikir tidak terputus), yaitu mengingat Tuhan terus menerus dengan cara menyebut lafal Allah ketika nafas keluar, dan menyebut lafal hu, ketika nafas masuk, sedangkan Zikr al-qalb dipergunakan terutama ketika menghadapi musuh, dengan cara membersihkan hati kemudian mengingat lafal Allah. Dengan Zikir itu diyakini Insya Allah akan memberikan pertolongan (Rahman, 1997 :21)
Orang Sulawesi Selatan yang turut mengembangkan Tarekat Naksyabandiah ialah Syekh Muhammad Fudail (pengembang Tarekat Khalwatiah Samman tahun 1820-an). Selain Fudail, juga anaknya, Abdul Gani, dan Singkeru Rukka, Ahmad Idris, Raja Bone (berkuasa 1860-1871). Tarekat ini kemudian berkembang bersamaan dengan semakin banyaknya orang-orang Sulawesi Selatan yang menerima tarekat ini di Mekah sesudah era Fudail dan murid-muridnya  (Rahman, 1997 :23)
Selain Naksyabadiah Tarekat Khalwatiah Syekh Yusuf telah berkembang sejak awal di Sulawesi Selatan.            Di Sulawesi Selatan dikenal dua aliran Tarekat Khalwatiah, yaitu Khalwatiah Yusuf dan Khalwatiah Samman. Dalam lontarak, baik dalam bahasa Makassar, Bugis, dan Mandar banyak sekali ditemukan ajaran, pesan, doa-doa yang dinisbahkan kepada Syekh Yusuf. Nama Syekh Yusuf sering ditulis Tuang ri Bantang, (Tuan di Banten), Tuangta Salama (bahasa Bugis), atau Tuangta Salamaka (bahasa Makassar) (Tuan kita yang selamat), biasa juga disingkat tuangta (Tuan kita), Tuang Loe, bahasa Makassar (Tuan yang Agung). Hal ini memberi petunjuk bahwa penghormatan yang diberikan kepada Syekh Yusuf cukup tinggi, dan pengaruhnya di Sulawesi Selatan sangat luas.
Syekh Yusuf dilahirkan di Gowa pada tahun 1626, dan ia meninggalkan Gowa menuju Mekah untuk memperdalam ilmu pada tahun 1644. Dalam Lontara Tuanta Salamaka dikatakan bahwa Syekh Yusuf dipelihara oleh Raja Gowa (Sultan Alauddin 1593-1639), setelah ia besar ia disuruh mengaji kepada Daeng ri Tasammeng, tidak lama kemudian ia tamat mengaji Alquran, saraf, nahwu, mantik, dan ilmu keislaman lainnya. Sebelum Syekh Yusuf berangkat ke Mekah, ia belajar kepada seorang ulama Arab yang bernama Sayyid Ba'lawi Abdullah Tahir yang digelar Syekh Tuan Keramat (w.1726).
Ulama yang kemudian menjadi menantu Sultan Alauddin ini mengajar di masjid Bontoala (masuk wilayah Ujungpandang sekarang) yang didirikan oleh Raja Gowa pada tahun 1635. Mesjid itu menjadi pusat pendidikan agama yang diperuntukkan kepada raja-raja dan keluarganya. Ketika Syekh Yusuf berusia 15 tahun, ia pergi ke Cikoang (masuk wilayah Takalar) pada Sayyid Jalaluddin Al-A'idid. Orang Arab ini datang pada tahun 1628, kemudian ia kawin dengan anak Karaengta ri Burakne, saudara Sultan Alauddin, pada usia 18 tahun, Syekh Yusuf meninggalkan Gowa menuju Banten, selanjutnya ke Mekah (Rahman, 1997).
Abdul Basir yang lebih populer dengan panggilan Tuang Rappang adalah murid Syekh Yusuf dan pertama kali memeperkenalkan tarekat gurunya, Syekh Yusuf di Gowa.  Ulama dari Arab ini meninggal pada tanggal 5 Mei 1723, dan dikebumikan di Rappang, kemudian dipindahkan ke Gowa pada tanggal 25 Juli tahun itu juga. Di antara pengikut Syekh Yusuf ialah Kare Nyampa yang lebih dikenal Daeng ri Tasammeng (guru mengaji kemudian menjadi murid tasawuf ?).
Pengaruh Syekh Yusuf semakin jelas di kalangan orang Bugis terutama setelah Raja Bone ke-23 La Tenri Tappu Sultan Ahmad Saleh Syams Al-Millah wa Al-Din (berkuasa 1775-1812) menulis sebuah risalah yang berjudul Al-Nur Al-Hadiy dan diperoleh juga terjemahannya dalam bahasa Bugis dengan judul "Tajang Patiroannge lao ri Laleng Malempue" (Cahaya yang membimbing ke jalan yang lurus). Pada lembaran pertama dikatakan, bahwa ketika berusia 32 tahun, risalah itu ditulis di Matekne, Maros. Penulisan risalah itu mendapat insfirasi dari hasil bacaan risalah Syekh Yusuf Taj Al-Khalwatiy, hasil diskusi dengan Faqih Yusuf, Kadi Bone, dan ditambah dengan renungan penulis sendiri. Buku itu selesai ditulis pada tanggal 15 Syaban 1202/21 Mei 1788 (Rahman, 1997).
Bontoala, Makassar, sebagai pusat pengajian sejak awal datangnya Islam, sekaligus menjadi pusat pengajaran Tarekat Syekh Yusuf.  Penyerahan kekuasaan Belanda kepada Inggris pada tahun 1811, memasukkan Makassar (Sulawesi Selatan) sebagai salah satu daerah yang diserahkan kepada Inggris. Residen Inggris, Philips, menuntut diserahkan kalompoang (benda kerajaan) Gowa yang sejak beberapa waktu lamanya disimpan oleh Raja Bone, La Tenri Tappu (w.1812), tetapi permintaan itu ditolak. Inggris juga menolak kebiasaan raja-raja di Sulawesi Selatan yang hendak melapor kepada Pembesar di Ujungpandang, harus seizin dengan Raja Bone. Pengganti La Tenri Tappu anaknya sendiri, To Appatunru lebih keras lagi menentang Inggris, bahkan ia menyerang Tallo, daerah yang sudah diserahkan Belanda kepada Inggris. Pada tahun 1814, Inggris menyerang Bontoala, pusat pemerintahan Bone (Bugis) yang dibentuk sejak Arung Palakka (w.1696) dan dapat dikalahkan, maka sejak itu pusat pemerintahan Bone di Bontoala lenyap, dan tokoh-tokoh agama, terutama keturunan Syekh Ba’lawi pindah ke Maros, termasuk institusi syara’ (syariat Islam).  Sejak itu lembaga pendidikan Islam tradisional yang dulunya berpusat di Bontoala beralih ke Maros, sehingga dikenal daerah Papandangan (sekitar Labuang) sebagai basis ulama di Maros, yang banyak melanjutkan pendidikannya di Mekah.
Pengaruh sufistik dan tarekat di Sulawesi Selatan bukan hanya berhenti sampai abad ke-19, melainkan berlanjut sampai era sesudah itu. Ulama-ulama di Sulawesi Selatan sampai pertengahan abad ke-20 dikenal sebagai penganut tarekat, meski mereka belum tentu mengembangkannya untuk orang lain. Umumnya mereka menganut     Tarekat Muhammadiah yang diterima di Mekah, di Jabal Qubais.   Tarekat Muhammadiah mulai diperkenalkan di Sulawesi Selatan  tahun 1905,  oleh seorang ulama dari Bone, Haji Husain Umar (w.1943) setelah  tinggal dan belajar di Mekah selama 16 tahun. Menyusul kemudian  pada tahun 1920-an oleh Haji Muhibuddin (w.1943) lebih dikenal dengan panggilan Gurutta Ambo Mai. Kedunya membawa tarekat ini dari Mekah.  Haji Muhammad As'ad (1907-1953) juga disebut menganut tarekat tersebut, dan ulama-ulama lainya seperti K. H. Ambo Dalle (w.1996), K. H. Muhammad Tahir (kadi Balannipa, Sinjai), K. H. Hasan (kadi Sinjai), dan K. H. Abd. Malik Parojai,  K. H. Abd. Malik, K. H. Muhammad Rafi Sulaiman, (kadi terakhir Bone), dan K.H.Muhammad Nur,  K. H. M. Yunus Martan, K. H. Daud Ismail, K. H. Abduh Pabbaja, dan K.H.Haruns Rasyid.  (Rahman, 1997).
Dari uraian di atas, dapat dipahami bahwa abad ke-18 dan ke-19 merupakan abad pertengahan dalam perjalanan Islam di Sulawesi Selatan, yang ditandai dengan belum terungkapnya fakta-fakta sejarah secara memadai. Di lain pihak, fakta sejarah itu juga menunjukkan adanya penurunan dinamika Islam ketimbang abad pertama kehadirannya di Sulawesi Selatan. Hal ini ditandai dengan tidak adanya – atau belum ditemukannya – tokoh-tokoh sejarah Islam yang bisa mewakili zamannya, yang dapat disejajarkan prestasinya dengan para penyebar Islam dan ulama atau cendekiawan serta para sultan abad sebelumnya.
Namun demikian, ada ciri dari zaman tersebut yaitu pesatnya perkembangan kehidupan tarekat yang dasar-dasarnya telah dirintis oleh Syekh Yusuf pada abad sebelumnya. Perkembangan tasawuf dan tarekat pada masa itu merupakan penyesuaian umat Islam setempat terhadap  suasana politik yang represif dari Pemerintahan Kolonial. Tasawuf dipandang  salah satu cara  pembebasan batin dari keterkungkungan dan tekanan dari luar. Perkembangan tarekat dan kehidupan tasawuf pada waktu itu mendorong munculnya pengajian-pengajian secara diaspora, sesuai dengan kondisi yang memungkinkan. Pengajian – pengajian tersebut yang sekarang dapat diidentikkan dengan pesantren,  terutama dimungkinkan oleh adanya ulama-ulama dari daerah luar misalnya dari Arab, Jawa, dan ulama-ulama lokal yang pernah belajar di Mekah. Ulama dari Jawa menggantikan posisi ulama dari Sumatera yang perannya sangat besar pada abad sebelumnya. Pada hemat penulis, tumbuhnya sentra-sentra pengajian dan munculnya ulama lokal erat kaitannya dengan potensi ekonomi masyarakat bersangkutan.
Semangat itulah yang diemban oleh para ulama khususnya ulama NU. Ajarannya antara lain bekerja sungguh-sungguh untuk memperoleh kehidupan yang layak di dunia tetapi jangan pernah mencintainya.      K.H.Sayyid Jamaluddin Puang Ramma, mengutip sebuah hadits tentang kecintaan kepada dunia : “addun-ya  bintun wa al-akhiratu ummuha.  Waman nakaha  bintun faqad harramallahu ummaha” (dunia itu laksana anak perempuan, sedangkan akhirat adalah ibunya.  Barang siapa yang menikahi anak perempuan itu, maka Allah mengharamkan baginya surga).
Beliau juga menyebutkan sebuah hadis : “kuwnuw abna’al ‘akhirah, walaa takuwnuw abna’ad dun-ya, fainna kulla ummin yatbauha waladuha” (jadilah kamu sekalian anak-anaknya akhirat dan janganlah kamu menjadi anak-anaknya dunia; karena sesungguhnya seorang ibu akan diikuti oleh anaknya).  Demikianlah mestinya sikap seorang ulama kepada dunia. Tidak boleh lebih mementingkan dunia, apalagi kalau ulama sudah berbisnis.
Ulama juga mengajarkan semangat persatuan yang dimulai dari kalangan ulama itu sendiri. Pada tahun 1947  ada undangan untuk Rabithah Ulama dari Pallengu, suatu desa pantai di Kabupaten Jeneponto, untuk menghadiri peringatan Maulid dan Peresmian sebuah mesjid di daerah itu. Berangkatlah K.H.M.Amien Nashir, K.H.Abd.Rahman Dg Situju (Imam Layang), K.H.Ahmad Bone, K.H.Muhammad Ramli dan K.H.Sayyid Jamaluddin Assegaf Puang Ramma.
Pada saat yang lain, Robithah mendapat undangan dari Datu dan Qadhi Panincong Soppeng  untuk sebuah peringatan Isra’ Mi’raj.  Ulama yang berangkat adalah  Anregurutta Ambo Dalle, Gurutta Daud Ismail, Gurutta Muin Yusuf, Gurutta Abduh Pabbaja, Gurutta Malik, dan Gurutta Abdurrahman Mattammang dan K.H.Jabbar Asiri, Gurutta Syuaib Magga, dan KHS.Jamaluddin Assegaf Puang Ramma. Acara berlangsung dari jam 20.00 sampai jam empat Subuh (K.H.S.Jamaluddin Puang Ramma, Pendiri NU Sulsel, Wawancara, Makassar, 23 Mei 2002).
Selengkapnya »»  

Rabu, 13 Juni 2012

Strategi Pengkaderan: Mencipta Aktor Akademis Fakultatif

Sebagai organ pengkaderan, kita terus berupaya mencari konsep pengkaderan terbaik di PMII, baik dalam prespektif lokal (locus at campus) maupun cabang hingga nasional. Untuk itu kita butuh membaca berbagai kondisi objektif saat ini, melakukan otokritik dan adaptasi.

Untuk menata ruang konsep kaderisasi tersebut, sebetulnya kita butuh dealektika panjang proses kesejarahan dan perumusan cita dan penyamaan visi. Untuk menguatkan pentingnya menata ruang konsep kaderisasi yang dapat dipahami bersama itu saya mengutip apa yang pernah disampaikan K.H. Hasyim Asy’ari[1];

“Siapa yang melihat pada cermin sejarah, membuka lembaran yang tidak sedikit dari ikhwal bangsa-bangsa dan pasang surut zaman, serta apa saja yang terjadi pada mereka hingga pada saat kepunahannya, akan mengetahui bahwa kekayaan yang pernah mereka sandang dan kemuliaan yang pernah menjadi hiasan mereka, tidak lain adalah berkat apa yang secara kukuh mereka pegang, yaitu mereka bersatu dalam cita-cita, seia sekata, searah setujuan, dan pikiran-pikiran mereka seiring”

Begitupun saat kita melihat historis PMII Cabang Maros. Terbayang oleh kita Cabang pernah mengalami kebesarannya, membangun Komisariat demi Komisariat hingga mencapai tiga Komisariat. Bukankah ini sejarah yang butuh waktu untuk kita pahami, bagaimana para alumni dulu membangunnya?

Untuk itu saya berpendapat bagaimana pentingnya menyatukan serpihan pikiran untuk menyamakan persepsi, visi dan cita PMII dalam locus Maros.

Dalam buku Multi Level Strategi Gerakan PMII menyebutkan ada lima argument mengapa harus ada pengkaderan. Pertama sebagai pewarisan nilai-nilai (argumentasi idealis), kedua pemberdayaan anggota (argumentasi strategis), ketiga memperbanyak anggota (argumnetasi praktis), keempat persaingan antar kelompok (argumentasi pragmatis) da yang kelima sebagai mandate organisasi (argumnetasi administrative)[2].

Secara filosofis, pengkaderan PMII hendak mencipta manusia merdeka (independent)[3]. Sementara proses pengkaderan itu menuju pada satu titik, yakni mencipta manusia Ulul Albab. Pengertian sederhananya adalah manusia yang peka terhadap kenyataan, mengambil pelajaran dari pengalaman sejarah, giat membaca tanda-tanda alam yang kesemuanya dilakukan dalam rangka berdzikir kepada Allah SWT, berfikir dari berbagai peristiwa alam, sejarah masyarakat, serta firman-firman-Nya. Pengertian Ulul Albab ini disarikan dalam motto dizkir, fikr, amal sholeh[4].

Sayapun tertarik menulis terkait pengkaderan, sebuah perbincangan yang tidak pernah lekang oleh zaman. Sejak PMII didirikan pada tahun 1960, proses kaderisasi selalu sejalan dengan dinamika kemahasiswaan yang telah mengalami banyak perubahan. Era pra-1998 (baca: pra reformasi) misalnya mensyaratkan gerakan dalam strategi gerakan eksparlementer. Setelah itu, muncul banyak gagasan, pro dan kontra, masihkah kita tetap menggunakan strategi pada gerakan jalanan, atau kembali ke kampus.

Strategi praksiologis pengkaderan dengan optimalisasi gerakan eksparlementer mensuguhkan progresifitas, militansi dan radikalisasi massa yang tinggi. Strategi ini melahirkan kader-kader yang tangguh dalam mental dan kemampuan melakukan mobilisasi massa, mendengungkan propaganda perlawanan dan membangkitkan semangat aksi turun jalan. Tirani kekuasaan sangat absolut, mencengkram semua sektor kehidupan. Satu-satunya jalan: turun jalan!

Sebaliknya, gerakan kembali ke kampus menyuguhkan strategi kaderisasi yang berbeda. Penguasaan materi fakultatif dengan disiplin ilmu sesuai dengan jurusannya menuntut kedisiplinan yang tidak kalah sulit. Apalagi proses sehari-hari mahasiswa akademis fakultatif rawan menyuguhkan dramatologi kontradiktif: terlalu asyik mengejar nilai akademis dan melupakan tanggungjawabnya sebagai agent of change dan agent of control. Tanpa disadari aktifitas akademis tersebut membuat kita lupa diri bahwa keilmuan kita sangat ditunggu rakyat keseluruhan dalam mewujudkan tatanan kehidupan berkeadilan sosial dan kesejahteraan rakyat yang merata.

Tidak mudah memang menempa diri dalam kualitas akademis dengan menjaga semangat progressifitas terhadap kehidupan organisasi. Tuntutan demikian mengacu pada dinamika kehidupan nasional kita disuguhkan pada usaha percepatan kemajuan semua sektor, bukan hanya politik (baca: demokrasi). Jika PMII hanya berkutat pada kaderisasi aktor politik, lantas dimana tanggungjawab pengembangan IPTEK, Kedokteran, Perencanaan Pembangunan dan berbagai kajian keilmuan pada proses pengabdian dan percepatan kesejahteraan sosial rakyat yang merata?

PMII mempunyai tanggungjawab yang belum terjawab terkait kaderisasi dalam ranah profesionalitas ini. Strategi kaderisasi yang masih tunggal dan general pada politik kampus menjadi oto kritik kita. PMII masih terasa sulit beraktualisasi diri dalam organ-organ profesional seperti kelompok akuntan, para tehnokrat, enterpreneur, para tenaga sosial medis, dan lain sebagaimya.

Karena itu semestinya memang semua aplikasi keilmuan akademis kita diarahkan pada pemenuhan tanggunjawab sosial. Kader PMII tida hanya disiapkan sebagai calon pemimpin dalam ranah politik dan kekuasaan, tetapi juga mampu mengaktualkan manfaat sebesar-besarnya atas keilmuan akademisnya pada kepentingan rakyat. Sejauh ini kajian tentang tanggungjawab mahasiswa pertanian, mahasiswa psikologi atau mahasiswa teknik dan sains (misalnya) pada proses kesejahteraan rakyat masih jarang dibahas.

Menarik Minat Mahasiswa Lain

Keberadaan aktor akademis fakultatif mampu menjadi daya tarik tersendiri di hadapan mahasiswa-mahasiswa lain. Gambaran ini benar adanya, dengan saya tambahkan catatan: syaratnya mereka mampu melakukan kinerja intelektual organik[5].

Mereka cerdas dalam akademis fakultatif tidak semata untuk isi otaknya sendiri. Aktor ini menarik jika secara aktif pula melakukan kinerja intelektual organik akademis, membangun kelompok belajar atau diskusi, menjadi mitra dosen pada proses pembelajaran, dan tetap mempunyai kepercayaan diri dengan berani “membusungkan dada” ke-PMII-an. Tetap kritis namun juga bisa melakukan perilaku kooperatif. Istilah ini yang kemudian dikenal di PMII dengan sebutan kritis transformatif. Bukankah ini paradigma gerakan kita[6]?

Keberadaan mahasiswa akademis fakultatif ini juga menjadi salah satu jawaban dari banyaknya penolakan umum mahasiswa yang anti terhadap gerakan aksi turun jalan. Jika gerakan ekstraparlementer ini banyak ditolak oleh mahasiswa secara konseptual, mengapa kita tidak mencari alternatif gerakan yang juga tidak kalah mulianya? Bukankah belajar dengan kesungguhan, berbagi ilmu dan membangun tradisi pengetahuan adalah sunnah rosul, dimana nabi Muhammad SAW  juga aktif melakukan kerja-kerja penggalian khazanah keilmuan hingga melahirkan adigium zaman pendobrak jahiliah menuju tatanan yang Islami?

Tentu saja saya tidak bermaksud mengatakan bahwa PMII selama ini tidak melakukan kegiatan transformasi ilmu dan membangun tradisi pengetahuan. Tidak dapat dipugkiri lagi bahwa PMII telah memberikan segudang transformasi knowladge yang menyadarkan kita pada eksistensi manusia di tengah kehidupan sosial dengan aneka ragam pengalaman organisatoris yang tiada tara nilainya. PMII telah mendidik kita pada pembentukan karakter kader yang militan, pantang menyerah, konsisten dan bertanggungjawab. Akan tetapi point yang ingin saya suguhkan adalah penguatan membangun tradisi pengetahuan ini dalam sebuah strategi strategi kaderisasi di PMII, khususnya PMII Maros.

Apalagi memang kita tidak berhak memaksakan penguasaan keilmuan kader hanya semata dibungkus pada wilayah politik. Tema ini mungkin linier dengan sahabat-sahabat PMII yang suka dengan ilmu Politik. Lantas apakah tema ini juga menarik di mata sahabat lain, misalkan yang berasal dari jurusan Guru, Ekonomi, PAI, lebih-lebih yang berasal Kesehatan? Bukankah lebih baik mereka mendapatkan “tempat yang benar” di wilayah profesionalitas mereka, tanpa mengurangi kesempatan sedikitpun pada keseluruhan kader PMII untuk mencari pengetahuan dan pengalaman di wilayah sosial dan politik yang sudah pasti terjadi di organisasi kita?

Jika saya petakan pada keberadaan Komisariat-Komisariat yang ada di PMII Maros, maka pada dasarnya kita semua telah berusaha mengidentifikasi masing-masing Komisariat pada kebutuhan fakultatifnya. Di Komisariat STAI DDI Maros misalnya banyak kader baru dilibat aktifkan pada kegiatan di Keagamaan. Pemberian amanat, peran dan posisi yang sejalan dengan keilmuan fakultatif tersebut sangat membantu kader kita untuk mengakses pengetahuan akademis sekaligus informasi kampus, berinteraksi dengan mahasiswa dan membangun kemitraan dengan dosen.

Dari Komisariat YAPIM Misalnya yang berasal dari jurusan manajemen.Sebagai kaum professional yang lebih paham pada berbagai persoalan ekonomi dan concept of nation development, maka proyeksi kesejahteraan rakyat, kemandirian ekonomi bangsa, dan berbagai ide kreatif keluar dari kemiskinan dengan memanfaatkan peta persaingan global menjadi menarik diperbincangkan.

Begitupun yang dari Pendidikan. bukankah maju mundurnya suatu bangsa berangkat dari tonggak kualitas pendidikan kita? Sebagai calon pendidik, tentu mereka harus memperkaya diri dengan jutaan literature konsepsi pendidikan, andragogi maupun pedagogi, menguasai teknik fasilitasi, kaya akan inovasi, dan peka akan kebutuhan anak-anak bangsa pada zamannya.

Bayangkan jika lima tahun lagi system pembayaran telah dilakukan dengan system otomasi, bukankah ini akan menggusur ribuan akuntan yang tidak paham dengan kemajuan teknologi yang ada pada zaman itu? Ini hanya permisalan yang saya buat, mengukur kualitas pendidikan kita saat ini dengan percepatan kemajuan teknologi yang terus berjalan. Di sisi lain, seperti yang dipropaganadakan Paolo Ferreira, pendidikan juga dituntut tetap dalam kerangka ideologis yang mempunyai nilai membebaskan manusia, bukan malah membodohkan. Sebuah tantangan tersendiri yang tidak mudah, bukan?

Kelebihan-kelebihan kaderisasi yang berjalan massif pada kerangka fakultatif ini memang penting, sama pentingnya dengan ideologisasi organisasi PMII dalam kerangka Ahlussunah waljamaah, pemahaman pada paradigm gerakan kritis transformative, maupun aktualisasi kembali Nilai-Nilai Dasar Pergerakan dalam kehidupan sehari. Jika kelebihan-kelebihan ini mampu kita formulasikan, bukankan PMII sangat menarik untuk diikuti oleh mahasiswa di kampus-kampus yang ada di kabupaten Maros?

Membangun Karakter, Tidak Semata Tergantung Leader

Bangga dan menyenangkan akhir-akhir ini para sahabat yang aktif menulis di grup Facebook, melakukan propaganda aktif kepada sahabat-sahabati yang lain. Semangatnya luar biasa, setidaknya menurut saya pribadi. Pengaruhnyapun juga massif.

Di sisi lain kita sering menjumpai sebuah organisasi yang sangat tergantung dengan karakter leadernya. Meskipun pengaruh leader tidak dapat kita nafikan sebagai bagian dari visi misi yang dibawa. Akan tetapi karakter sosiologis, tardisi pengetahuan dan prilaku organisasi sebetulnya dapat kita bentuk secara mandiri.

Saya membuat analogi, bahwa organisasi adalah benda mati, dan yang menghidupkan dinamika di dalamnya tentu aktor-aktor organisasinya. Akan tetapi juga harus kita catat, bahwa organisasi bernama PMII ini juga eksis, berdiri dan hidup dengan karakter tersendiri. Saat semua aktor organisasi sedang tertidur pulas, bendera PMII tetap tegak berdiri dan dikenal dengan karakter organisatornya, tradisi pengetahuan yang dibangun dan prilaku organisasinya. PMII Maros tetap hidup bahkan di saat kita semua telah tiada.

Karakter tersebut yang meski kita temukan, khususnya lewat Komisariat yang sudah dikumandangkan dalam berbagai kegiatan kaderisasi. Semangat berdealektika dalam ruang fakultatif ini dapat menjadi identifikasi masing-masing Komisariat yang membangun karakternya sendiri, secara sadar dan sepenuh hati. Akumulasinya akan terwujud dalam karakter organisatoris tentang PMII Maros.

Ruang-ruang dealektis, tradisi pengetahuan dan prilaku organisasi yang dibangun menjadi strategi pembentukan karakter personal. Terlepas siapa yang memimpin, semangat aktualisasi itu tetap tumbuh. Pembentukan karakter ini juga menggugat adigium selama ini yang telah bergeser, dimana seolah ruang pendidikan hanya di ruang kelas, atau hanya dalam forum tertentu, atau juga saat ada sajian materi perkuliahan dengan menghadirkan dosen atau narasumber, atau batas-batas formalitas lain. Ada ruang-ruang pendidikan baru yang tumbuh di rutinitas sehari-hari kita dalam ranah akademis maupun organisatoris.

Terakhir, tulisan ini saya buat tanpa mengurangi rasa bangga dan hormat pada proses kaderisasi yang telah dilakukan oleh seluruh sahabat-sahabati. Kita semua tahu bahwa kader-kader PMII Maros yang ada saat ini khususnya proses pembelajaran selama lima tahun terakhir telah dilakukan dengan pengerahan sumber daya, tenaga, biaya dan waktu yang tidak sedikit. Kita telah melakukan kerja sebaik mungkin.

Namun begitu, pembacaan startegi menjadi modal reaktualisasi organisatoris yang berkesadaran (being/insan) terlepas apakah kita akan sanggup melakukan proses salah satu strategi kaderisasi di atas dengan melihat keseluruhan aktor organisasi yang ada di PMII Maros sekarang.

[1] Dalam buku “Multi Level Strategi Gerakan PMII” halaman v, PB. PMII 2006
[2] Ibid. hal. 32
[3] Ibid, baca “Profil Kader PMII, Orietasi dan Filosofi”, hal. 34
[4] Ibid, baca Profil Kader Ulul Albab, hal. 34
[5] ISTILAH intelektual organik merupakan sebutan bagi intelektual-akademisi yang mendedikasikan proses pembelajarannya sebagai upaya membuka ruang atas terjadinya gap antara teori dan praktik. Bagi mereka, tidak cukup peran intelektual jika hanya diapresiasikan lewat buku semata. Sebaliknya, lebih dari itu, perannya bagi pemberdayaan masyarakat adalah satu kewajiban yang mutlak. Istilah intelektual organic ini diperkenalkan oleh Antonio Gramschi
[6] Nalar gerak PMII secara teoretik mulai dibangun secara sistematis pada masa kepengurusan sahabat muhaimin Iskandar (Ketum) dan Rusdin M. Noor (Sekjend). Untuk pertama kalinya istilah paradigma yang popular dalam istilah Sosiologi digunakan untuk menyatakan apa yang oleh PMII disebut prinsip-prinsip dasar yang akan dijadikan acuan dalam segenap pluralitas strategi sesuai lokalitas  masalah dan medan juang. Kerangka inidapat dibaca dalam buku “”Paradigma Arus Balik Masyarakat Pinggiran”, November 1997.
Selengkapnya »»  

Mengenal Filsafat Eksistensialisme

Aliran filsafat Eksistensialisme adalah filsafat yang pemahamannya berpusat pada manusia/individu yang bertanggung jawab atas kemauannya yang bebas, tanpa mendalami nilai kebenaran sesuatu. Sebenarnya bukannya tidak mendalami atau mengetahui mana yang benar dan mana yang tidak benar, tetapi seorang eksistensialis sadar bahwa kebenaran itu relatif, maka masing-masing individu bebas menentukan sesuatu mereka anggap benar.

Eksistensialisme adalah salah satu aliran besar tradisi filsafat Barat. Eksistensialisme mempersoalkan keber-Ada-an manusia, dan keber-Ada-an itu dihadirkan lewat kebebasan. Pertanyaan utama yang berhubungan dengan eksistensialisme adalah (selalu) persoalan kebebasan. Apakah kebebasan itu? bagaimana manusia yang bebas? dan sesuai dengan ide utamanya yaitu kebebasan, eksistensialisme menolak mentah-mentah bentuk determinasi terhadap kebebasan kecuali kebebasan itu sendiri.

Filsafat eksistensialisme hadir lewat Jean Paul Sartre (versi pembelajaran filsafat di sekolahan), Sartre terkenal dengan diktumnya "human is condemned to be free", manusia dikutuk untuk bebas. Maka dengan kebebasannya itulah kemudian manusia bertindak. Pertanyaan yang paling sering muncul sebagai derivasi kebebasan eksistensialis adalah, sejauh mana kebebasan tersebut bebas? atau "dalam istilah orde baru", apakah eksistensialisme mengenal "kebebasan yang bertanggung jawab"? Bagi eksistensialis, ketika kebebasan adalah satu-satunya universalitas manusia, maka batasan dari kebebasan dari setiap individu adalah kebebasan individu lain. Namun, Bapak filsafat eksistensialisme ini adalah Søren Aabye Kierkegaard, dialah yang pertamakali mencetuskan filsafat eksistensialisme kemudian diturunkan kepada Sartre, walaupun akhirnya Sartre lebih banyak dikenal dalam studi filsafat ejsistensialisme karena karya-karyanya.

Namun, menjadi eksistensialis, bukan melulu harus menjadi seorang yang lain daripada yang lain, sadar bahwa keberadaan dunia merupakan sesuatu yang berada diluar kendali manusia, tetapi bukan membuat sesuatu yang unik ataupun yang baru yang menjadi esensi dari eksistensialisme. Membuat sebuah pilihan atas dasar keinginan sendiri, dan sadar akan tanggung jawabnya dimasa depan adalah inti dari eksistensialisme.


Søren Aabye Kierkegaard

Søren Aabye Kierkegaard lahir di Kopenhagen, Denmark, 5 Mei 1813 dan meninggal di Kopenhagen, Denmark, 11 November 1855 pada umur 42 tahun. Dia adalah seorang filsuf dan teolog abad ke-19. Kierkegaard sendiri melihat dirinya sebagai seseorang yang religius dan seorang anti-filsuf, tetapi sekarang ia dianggap sebagai bapaknya filsafat eksistensialisme. Kierkegaard menjembatani jurang yang ada antara filsafat Hegelian dan apa yang kemudian menjadi Eksistensialisme. Kierkegaard terutama adalah seorang kritikus Hegel pada masanya dan apa yang dilihatnya sebagai formalitas hampa dari Gereja Denmark. Filsafatnya merupakan sebuah reaksi terhadap dialektika Hegel.

Banyak dari karya-karya Kierkegaard membahas masalah-masalah agama seperti misalnya hakikat iman, lembaga Gereja Kristen, etika dan teologi Kristen, dan emosi serta perasaan individu ketika diperhadapkan dengan pilihan-pilihan eksistensial. Karena itu, karya Kierkegaard kadang-kadang digambarkan sebagai eksistensialisme Kristen dan psikologi eksistensial. Karena ia menulis kebanyakan karya awalnya dengan menggunakan berbagai nama samaran, yang seringkali mengomentari dan mengkritik karya-karyanya yang lain yang ditulis dengan menggunakan nama samaran lain, sangatlah sulit untuk membedakan antara apa yang benar-benar diyakini oleh Kierkegaard dengan apa yang dikemukakannya sebagai argumen dari posisi seorang pseudo-pengarang.

Ludwig Wittgenstein berpendapat bahwa Kierkegaard "sejauh ini, adalah pemikir yang paling mendalam dari abad ke-19".

Pemikiran Kierkegaard

Pemikiran Kierkegaard, sebagai kritik atas Hegel, menekankan pada aspek subjektivisme. Mengingat seluruhnya pada dasarnya adalah manifestasi dari apa yang disebut Hegel sebagai fenomenologi roh maka individu manusia direduksi menjadi kawanan. Hal ini akan melenyapkan individu dari tanggung jawab pribadinya secara etis bahkan juga melenyapkan eksistensi individu di dalam kerumunan kawanan. Penekanan pada eksistensi individu inilah yang menjadikan Kierkegaard dianggap sebagai bapak eksistensialisme yang dipopulerkan oleh Sartre kelak.

Pemikiran lain yang menarik adalah sebuah dialektika eksistensialis yang menggambarkan perkembangan religiusitas manusia dari apa yang disebutnya tahap estetis, tahap etis, hingga tahapan religius. Tahap pertama adalah tahap estetis yaitu ketika manusia bereksistensi berdasarkan prinsip kesenangan indrawi, sebagaimana arti kata estetis yang bermakna mengindra. Tokoh dalam peradaban barat yang menjadi contoh adalah Don Juan yang memburu kesenangan.

Tahapan kedua dicapai dengan satu lompatan menuju tahap dimana manusia bereksistensi dengan pertimbangan moral universal dalam kerangka benar dan salah. Tokoh yang dapat dijadikan contoh adalah Socrates yang mengorbankan dirinya demi prinsip moral universal. Tahap terakhir adalah tahap keimanan puncak yang tidak dapat dinilai dengan penilaian moral universal namun menemui sifat paradoks keimanan.

Tokoh yang dijadikan teladan adalah Ibrahim (atau Abraham) dalam kisah penyembelihan anaknya (Ishak dalam agama Kristen dan Ismail dalam agama Islam) yang tindakannya tersebut, sebagai manifestasi dari keimanannya, tidak dapat dinilai dengan penilaian moral universal. Sebuah tindakan yang mengandung dasar paradoks karena di satu sisi Ibrahim menyerahkan diri sepenuhnya, dan kehilangan segala-galanya, dengan gerakan imannya dan di sisi lain, secara bersamaan, dia mendapatkan segalanya dengan cara yang baru. Sebuah kegilaan ilahi[8], sesuatu yang tidak dikutuk tapi justru dianjurkan oleh Kierkegaard, yang akan tampak absurd apabila dimasukkan ke dalam kategori moral universal.


Sumber bacaan; Wikipedia Indonesia 
Selengkapnya »»  

Selasa, 01 Mei 2012

3 NITAS

Oleh sahabat Safaruddin (Codding)

Saudara seagama sekalian, pada kesempatan ini saya ingin menyinggung sedikit tentang konsep ketuhanan agama Kristen. Bukan untuk mencap atau menjustivikasi teologi mereka sebagai toelogi yang keliru, bukan juga untuk menprovokasi  sesama beragama tapi untuk memberikan sercerca titik terang untuk kita agama Islam bahwa betapa ketahuidan yang di bawa oleh Yesus (Isa) telah dipangkas sedemikian rupa hingga menjadi suatu ajaran yang menyimpang dari yang sebenarnya. Sebenarnya ajaran Kristen tercemari dari Filsafat ketuhanan Mesir ke Babilonia dan kemudian di mapankan di Yunani sebagai konsep ketuhanan Trinitas. Catatan penting untuk kita saudara seagama Islam; seandainya dalam Konsep Trinitas tidak melibatkan Yesus (Isa) kita tidak lah perlu untuk menyinggung konsep Trinitas itu.

Trinitas dalam Kristen adalah tiga Tuhan, yakni ; Tuhan Allah, Tuhan Yesus dan Tuhan Roh Kudus dan ketiganya adalah satu, konsep trinitas ini sesungguhnya adalah konsep yang mulai dipetik oleh pemimpin Gereja pada abad ke II dari ajaran Platonis yang diajarkan oleh Plato (347 SM). Plato menganggap keilahian Alami terdiri atas tiga bagian : Penyebab awal, Firman (Logos) dan Roh alam semesta. Sistem Platonis  sebagai tiga Tuhan, bersatu antara satu dengan yang lainya melalui kehidupan yang baka dan mesterius dan Firman (Logos) secara khusus dianggap yang paling tepat sebagai anak Bapa yang baka oleh pemimpin Gereja dan juga sebagai pencipa dan penguasa alam semesta.

Ajaran Kristen sebenarnya telah tercemari oleh FilsafaT Yunani yaitu filsafat Plato di mana dalam filsafat ini mempercayai bahwa Tuhan itu suci dan dunia ini kotor (dosa); Tuhan tidak punya kekuatan untuk menyentuh dunia karena dosa yang teramat besar maka dari itu Tuhan mengeluarkan Firman (Logos). Logos ini lah yang di anggap oleh pemimpin gereja sebagai anak Tuhan yang sulung yaitu Firman Tuhan yang berbentuk manusia.

Islam mempercayai bahwa Yesus (Isa) sebenarnya tidak mati, beliau diangkat ke langit oleh Allah SWT, sedangkan Kristen mempercayai Yesus telah mempertaruhkan Raganya untuk menebus manusia yang bergemilang dosa dan nanti setelah 300 tahun kemudian Yesus (Isa) di Baiat sebagai Tuhan oleh  kaisar Romawi, Constantine saat menyatakan diri  masuk Kristen pada tahun 312 M. Saat itu kaisar menetapkan Kristen sebagai agama Kerajaan dan kaisar Constantine menyatakan diri mendukung Athanasius yang menempatkan Yesus(Isa) sebagai Firman (Logos) Tuhan serta menghabisi faham Tuhid Arianisme. Kaisar menyarankan ide mempertuhankan Yesus dengan memperkenalkan istilah Homoousius yang pengertianya adalah “Yesus Satu zat dengan Tuhan Allah. Tokoh yang yang sangat berpengaruh dalam mempertuhankan Yesus adalah Athanasius. dia dibesarkan di Mesir, daerah yang sangat subur dengan ajaran Trinitasnya. Di Mesir penduduknya menyembah tiga Tuhan dalam satu yaitu ISIRIS, ISIS dan HORUS. Selain itu ajaran filsafat Platonis dan Stoic berkembang pesat di Aleksandria, di mana Athanasius tinggal mengidealkan Trinitas ajaran Mesir. Dialah yang berusaha keras untuk mengkulturasikan Trinitas Yunani dengan Agama Kristen. yesus kemudian di SK kan menjadi Tuhan oleh kaisar Romawi, Constantine di Nicea tanggal 20 Mei 325 M.

Dalam Trinitas Roh Kudus (Jibril) adalah bagian dari Tuhan yang harus disembah. Jadi yang awal itu adalah Tuhan dan kemudian lewat perantara Roh Kudus Tuhan  berfirman (Logos) yang dipercaya sebagai Yesus. Antara Tuhan, Roh Kudus dan Firman adalah satu. Firman dan Roh Kudus adalah Tuhan dalam Oknum yang berbeda. Roh Kudus ini di SK kan pada Konsili di Konstantinople yang diselenggarang pada bulan Mei s/d Juli 381 M.

Saudara seagama Islam semoga Ukiran ini bisa menamba wawasan kita yang bertujuan untuk tetap memantapkan keyakinan kita terhadap Islam dan semoga Nabi Isa as kelak datang untuk menumbangkan Salib yang bernaung dalam konsep Trinitas. Konsep yang sebenarnya telah jatuh pada pertimbangan Logika; mana mungkin awalnya adalah manusia dan kemudian menjadi Tuhan yang setara denggan penciptanya. Bagaiman jadinya jika ketiga Tuhan yang setara ini berselisi paham dengan keputusan perputaran bumi ini. Mana mungkin boneka yang saya ciptakan bisa menyerupai dan bahkan setara dengan saya.

Saudara seagama sekalian sampai di sini dulu ukiran saya pada kesempatan ini. Semoga Allah selalu menjaga keimanan kita di bawah payung ketahuidhan yang sesungguhnya dibawa oleh Yesus (Isa) dan dimantapkan oleh Nabi Muhammad SAW. 
Selengkapnya »»  

Senin, 16 Januari 2012

JERITAN SEORANG PENGEMBARA MUDA

Kesejukan yang dulu kini pudar oleh waktu yang tak tersingkap, rakyat yang aman,damai dan sejahtera kini hanya mimpi–mimpi indah yang hanya dapat dikenang dan dijadikan bahan cerita rakyat oleh generasi kita saat ini. Banyak yang bertanya ada apa dengan bangsa ini…? Para elit-elit petinggi bangsa dan wilayah ini pada kemana semua, seperti ruang-ruang yang kosong tanpa penghuni sungguh mengiris hati, kecewa bercampur sedih. Disaat di tengah angka kemiskinan semakin meningkat, banyak

rakyat yang mengantri untuk mendapatkan akses jaminan kesehatan,

banyak anak-anak kita yang butuh sekolah untuk mendapatkan pendidikan dan masih banyak gedung sekolah yang masih menggunakan fasilitas yang sudah tidak layak. Tapi justru para wakil rakyat yang hanya pintar mengeluh agar di buatkan gedung baru, toilet baru, bahkan parkiran mibil baru, layaknya seperti hotel. Dan sungguh sangat mengecewakan, bahkan awal penetapan APBD saja baru baru ini telah dianggarkan jas seorang anggota DPR sudah menelan biaya Ratusan juta, dengan fasilitas yang begitu mewah dan menggiurkan, bahkan kursi dan mejanya di dasain dan di impor langsung dari itali. Namun para wakil rakyat kita justru malah asyik tertawa dengan apa yang mereka dapatkan sekarang ini. Bahkan mereka dengan seenaknya keluar masuk gedung DPR dengan menggunakan mobil mewah yang harganya mencapai Ratusan juta hingga MILIYARan, meskipun mereka peroleh dari hasil sendiri, namun apakah mobil itu pantas keluar masuk gedung DPR yang katanya DEWAN PERWAKILAN RAKYAT, di saat angka kemiskinan terus semakin meningkat, karena akibat dari gaya pola hidup mereka yang ingin serba mewah dan dengan sifat yang egoisme, justru mereka malah menghamburkan uang rakyat untuk hal yang tidak penting. Hmmm benar benar EDAN dan patut di pertanyakan...???

Terkadang kita berpikir dan mempertayakan apakah para pemimpin dibangsa ini manusia atau bukan…? Kalau pun manusia mengapa mereka tidak sedikitpun mempunyai hati nurani untuk rakyatnya, hingga mereka semua hanya sibuk membenahi diri, memperkaya diri  dan mementingkan diri sendiri sungguh sifat keegoisan sangat mencuat didalam hati mereka.

Seharusnya mereka lebih faham dan mengerti bagaimana nasib dan keinginan rakyat, sebagai wakil rakyat dan sebagai abdi negara masyarakat, mereka harus bertanggung jawab atas penyelenggaraan dan setia kepada kepentingan negara sesuai dengan nilai nilai dan cita cita perjuangan bangsa sebagai mana yg tercantum dalam pancasila dan UUD 1945. Bukan malah justru memamerkan pola hidup mewah di depan jeritan rakyat. Hehehe……ini sungguh benar benar sudah menyimpang nilai dan cita cita perjuangan bangsa sebagaimana yang tercantum dalam pancasila dan UUD 1945 khususnya nilai kemanusian.

Akibat dari kebiasaan dengan pola hidup mereka yang serba mewah, para pejabat kita bisa melakukan berbagai cara yang di anggapnya halal, seperti melakukan praktik korupsi, dengan memperkaya diri sendiri. seharusnya para wakil kita bisa hidup dan belajar dalam kesederhanan, sebagai panuttan atau sabagai contoh kepada rakyatnya. karena di dalam agama di katakan bahwa:

"Rasullullah SAW bersabda adalah suatu teladan mulia yang memperlihatkan sikap sederhana, meskipun beliau memiliki kedudukkan terpandang di para hambanya, beliau sama sekali tidak terobsesi dan berkeinginan untuk memamerkan kedudukkannya".

Jadi intisari dari sebuah jeritan untuk kita semua dan terkhusus para elit politik, penentu kebijakan dan wakil rakyat dimana pun berada, bahwa sifat kesederhaanlah yang harus kita budayakan sesuai anjuran Rasulullah SAW,  Dan jikalau kesederhanaan pula yang kita budayakan semua golongan, rakyat akan merata kesejahteraannya dikarnakan saling menunjang dan mengisi diantara atasan dan bawahannya.

Ingat Sahabat...!!!

"KESEDERHANAAN ITU, ADALAH SEBUAH TOMBAK SEBAGAI KEKUATAN UNTUK MENGENDALIKAN DIRI DARI HAWA NAFSU KESERAKAHAN. DAN KESEDERHANAAN ITU DAPAT MENCIPTAKAN HIDUP PENUH DENGAN KEINDHAAN... :)

Sebuah renungan panjang buat sahabat-sahabat semua dan terkhusus sahabat yang ada dimaros.

Oleh : Sahabat Farid Fadli
Selengkapnya »»  

Jumat, 06 Januari 2012

NUKLIR

Jauh di dalalm lubuk hati kita semua, tentunya akan bertanya-tanya, mengapa nuklir dipilih sebagai sumber energi alternatif di masa depan? sebagai seorang yang menekuni bidang FISIKA, maka pengamatan terhadap fenomena alam sudah merupakan hal yang biasa. diantaranya adalah sumber energi bumi. bumi memperoleh energinya, sebagian besar berasal dari matahari. energi matahari dihasilkan dari proses reaksi nuklir yaitu fusi, atau penggabungan dua inti atom Deuterium menjadi satu buah inti atom helium. menurut hukum kekekalan massa, penggabungan dua inti atom menjadi satu akan menyebabkan penurunan pada massanya, dan kelebihan massa yang ada diubah menjadi energi. demikian pula energi yang ada dibumi, juga berasal
dari reaksi fusi nuklir yang terjadi dipusat bumi.selanjutnya seperti telah diketahui, nuklir berkaitan dengan benda yang sangat kecil dan jarak yang sangat pendek yaitu dalam orde fermi (10-14 m). bila dibandingkan dengan jarak antar benda di bumi yang dalam orde meter, maka dengan menggunakan persamaan gaya akan didapat bahwa gaya nuklir mempunyai kekuatan hingga 1028 kali gaya gravitasi. oleh karena energi sebanding dengan besarnya gaya, maka tentu saja energi nuklir merupakan energi yang sangat besar dibandingkan dengan energi gravitasi. bila kita lakukan perhitungan, maka 1 gram inti atom akan menghasilkan energi setara dengan 9 x 1013 joule atau 25 juta KWH atau 25 GW. bila ditinjau dari kebutuhan listrik Sulawesi Selatan, Tenggara dan tengah yang diperkirakan sekitar 740 MW, maka cukup 1 gram Uranium-235 untuk memenuhi kebutuhan tersebut. tepatnya untuk 1 gram Uranium-235 dapat dihasilkan energi yang kurang lebih setara dengan 20.000 ton batubara.
berbicara tentang kebutuhan energi, beberapa Negara di dunia ini sudah mencoba memenuhi kebutuhan energinya dengan membangun pembangkit listrik tenaga nuklir. Misalkan Amerika Serikat diperkirakan telah mempunyai 120 unit reaktor, dengan kapasitas listrik 107062 MW atau 107 GW yang diperkirakan dapat beroperasi sekitar 955 tahun. jepang mempunyai 44 unit reaktor dengan kapasitas 33.438 MW atau sekitar 33,438 GW. india mempunyai 8 unit reaktor dengan kapasitas 1645 MW, Pakistan mempunyai 1 unit reaktor dengan kapasitas 125 MW, cina akan membangun 44 unit reaktor dalam waktu dekat. Perancis, Canada, dan negara-negara lainnya.

Ditulis Oleh Sahabat Ilham Kasim
Selengkapnya »»  

Kamis, 29 Desember 2011

Membumikan NDP PMII; Usaha Mempertahankan Pancasila

Dalam perjalanan sejarah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), mahasiswa selalu menjadi “pemeran utama”. Artinya, urgensi atau peranan mahasiswa dalam mewujudkan Negara Kesatuan tidak bisa dihapuskan begitu saja. Termasuk juga dalam peranan mempertahankan keseimbangan atas gejolak yang ada. Mulai dari terbentuknya Negara Republik (baca: proklamasi), mahasiswa menjadi inisiator utama, seperti Soekarno, M. Hatta, dan lain-lain, sampai pada runtuhnya orde baru. Sekali lagi, mahasiswa selalu menjadi “pemeran utama” dalam gerakan perubahan di Indonesia

Selengkapnya »»  

Senin, 26 Desember 2011

DARI MAROS KEMBALI KE MAROS

Dulu, penelitian tentang sejarah terbatas pada penelitian atas catatan tertulis atau sejarah yang diceritakan. Akan tetapi, seiring dengan peningkatan jumlah akademik profesional serta pembentukan cabang ilmu pengetahuan yang baru sekitar abad ke-19 dan 20, terdapat pula informasi sejarah baru. Arkeologi,Antropologi, dan cabang-cabang ilmu sosial lainnya terus memberikan informasi yang baru, serta menawarkan teori-teori baru tentang sejarah manusia. Banyak ahli sejarah yang bertanya: apakah cabang-cabang ilmu pengetahuan ini termasuk dalam ilmu sejarah, karena penelitian yang dilakukan tidak semata-mata atas catatan tertulis? Sebuah istilah baru, yaitu nirleka (Prasejarah) dikemukakan.Istilah "prasejarah" digunakan untuk mengelompokkan cabang ilmu pengetahuan yang meneliti periode sebelum ditemukannya catatan sejarah tertulis.

Pada abad ke-20, pemisahan antara sejarah dan prasejarah mempersulit penelitian. Ahli sejarah waktu itu mencoba meneliti lebih dari sekadar narasi sejarah politik yang biasa mereka gunakan. Mereka mencoba meneliti menggunakan pendekatan baru, seperti pendekatan sejarah ekonomi, sosial, dan budaya. Semuanya membutuhkan bermacam-macam sumber. Di samping itu, ahli prasejarah seperti Vere Gordon Childe menggunakan arkeologi untuk menjelaskan banyak kejadian-kejadian penting di tempat-tempat yang biasanya termasuk dalam lingkup sejarah (dan bukan prasejarah murni). Pemisahan seperti ini juga dikritik karena mengesampingkan beberapa peradaban, seperti yang ditemukan di Afrika Sub-Sahara dan di Amerika sebelum kedatangan Columbus.

Akhirnya, secara perlahan-lahan selama beberapa dekade belakangan ini, pemisahan antara sejarah dan prasejarah sebagian besar telah dihilangkan.

Sekarang, tidak ada yang tahu pasti kapan sejarah dimulai. Secara umum sejarah diketahui sebagai ilmu yang mempelajari apa saja yang diketahui tentang masa lalu umat manusia (walau sudah hampir tidak ada pemisahan antara sejarah dan prasejarah, ada bidang ilmu pengetahuan baru yang dikenal dengan Sejarah Besar). Kini sumber-sumber apa saja yang dapat digunakan untuk mengetahui tentang sesuatu yang terjadi di masa lampau (misalnya: sejarah penceritaan, linguistik, genetika, dan lain-lain), diterima sebagai sumber yang sah oleh kebanyakan ahli sejarah.

Negara Indonesia kaya akan sumberdaya alam  maupun sumberdaya budaya yang bisa digunakan untuk kemajuan dan kesejahteraan rakyat. Kekayaan sumber daya budaya dapat berupa fisik maupun non fisik.

Salah satu kekayaan tersebut adalah sumberdaya arkeologi yang tersebar di seluruh Indonesia.Salah satu kawasan yang  banyak mengandung sumberdaya arkeologi adalah kawasan pegunungan kapur (Leang-leang) Maros di Propinsi Sulawesi Selatan. Di kawasan pegunungan kapur (karst) terdapat gua-gua yang pada masa prasejarah dihuni oleh manusia. Terpilih gua sebagai tempat bermukim manusia tidak terlepas dari tersedianya sumberdaya alam yang terdapat pada lingkungan sekitar gua. Selain sebagai tempat tinggal, dinding-dinding gua digunakan sebagai media untuk mengekspresikan pengalaman, perjuangan dan harapan hidup manusia dalam bentuk lukisan gua.Lukisan gua di Indonesia diketahui berkembang pada masa berburu dan mengumpulkan makanan tingkat lanjut.Menurut H.R. Van Hekeren (1972 dalam Permana, 2008) kemungkinan besar kehidupan gua di Maros berlangsung sejak pertengahan atau penghujung kala Pleiostosen akhir yakni sekitar 50.000 hingga 30.000 tahun sebelum Masehi

Hal ini menunjukkan bahwa daerah tertua di Sulawesi Selatan yang pernah dihuni oleh umat manusia berada di Kabupaten Maros.akan tetapi tidak semua orang yang berada di maros mau mengakui asal usul nenek moyang mereka yang sebenarnya.hal ini disebabkan karena kurangnya pengetahuan kita tentang kekayaan-kekayan Alam dan budaya yang ada di Maros.

Semoga tulisan ini bisa menjadi bahan isnpirasi bagi kita semua,terutama bagi warga maros agar terus mencari dan mengkaji fakta-fakta bahwa kita berasal dari Maros dan kembali ke Maros.

Oleh : Sahabat Fhyro'
Selengkapnya »»  

Selasa, 13 Desember 2011

NU dan Negara Islam ( I )

Oleh : KH.Abdurahman Wahid
Sebuah pertanyaan diajukan kepada penulis: apakah reaksi NU (Nahdlatul Ulama) terhadap gagasan Negara Islam (NI), yang dikembangkan oleh beberapa partai politik yang menggunakan nama tersebut? Pertanyaan ini sangat menarik untuk dikaji terlebih dahulu dan dicarikan jawaban yang tepat atasnya. Inilah untuk pertama kali organisasi yang didirikan tahun 1926 ini ingin diketahui orang bagaimana pandangannya mengenai NI. Ini juga berarti, keinginntahuan akan hubungan NU dan keadaan bernegara yang kita jalani sekarang ini dipersoalkan orang. Dengan kata lain, masalah pendapat NU sekarang bukan hanya  menjadi masalah intern organisasi saja, melainkan sudah menjadi "bagian" dari kesadaran umum bangsa kita. Dengan upaya menjawab pertanyaan tersebut, penulis ingin menjadi bagian dari proses berpikir yang sangat luas seperti itu, sebuah keinginan yang pantas-pantas saja dimiliki seseorang yang sudah sejak lama tergoda oleh gagasan NI.
Dalam sebuah tesis MA -yang dibuatnya beberapa tahun yang lalu, pendeta Einar Martahan Sitompul, yang di kemudian hari menjadi Sekretaris Jenderal Gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP), menuliskan bahwa Muktamar NU tahun 1935 di Banjarmasin (Borneo Selatan), harus menjawab sebuah pertanyaan, yang dalam tradisi organisasi tersebut  dinamai bahtsul al-masa'il  (pembahasan masalah). Salah sebuah masalah yang diajukan kepada muktamar tersebut berbunyi: wajibkah bagi kaum muslimin untuk mempertahankan kawasan Kerajaan Hindia Belanda, demikian negara kita waktu itu disebut, padahal diperintah orang-orang non-muslim? Muktamar yang dihadiri oleh ribuan orang ulama itu, menjawab bahwa wajib hukumnya secara agama, karena adanya dua sebab. Sebab pertama, karena kaum muslimin merdeka dan bebas menjalankan ajaran Islam, di samping sebab kedua, karena dahulu di kawasan tersebut telah ada Kerajaan Islam. Jawaban kedua itu, diambilkan dari karya hukum agama di masa lampau, berjudul "Bughyah al-Mustarsyidin".
Jawabaan di atas memperkuat pandangan Ibn Taimiyyah, beberapa abad yang lalu. Dalam pendapat pemikir ini, Hukum Agama Islam (fiqh) memperkenankan adanya "pimpinan berbilang" (ta'addud al-a'immah), yang berarti pengakuan akan kenyataan bahwa kawasan dunia Islam sangatlah lebar di muka bumi ini, hingga tidak dapat dihindarkan untuk dapat menjadi efektif (syaukah). Konsep ini, yaitu adanya pimpinan umat yang hanya khusus berlaku bagi kawasan yang bersangkutan, telah diperkirakan oleh kitab suci Al-qur'an dengan Firman Allah; "Sesungguhnya Aku telah menciptakan kalian dari jenis laki-laki dan perempuan dan Ku-jadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku bangsa, agar kamu sekalian saling mengenal" (Inna khalaqnakum min dzakarin wa untsa wa ja'alnakum syu'uban wa qaba'ila li ta'arafu). Firman Allah inilah yang menjadi dasar adanya perbedaan pendapat di kalangan kaum muslimin, walaupun dilarang adanya perpecahan diantara mereka, seperti kata firman Allah juga: "Berpeganglah kalian (erat-erat) kepada tali Allah secara keseluruhan, dan janganlah terbelah-belah/saling bertentangan" (wa'tashimu bi habli Allahi jami'an wa la tafarraqu).
*****
Dengan keputusan Muktamar Banjarmasin tahun 1935 itu, NU dapat menerima kenyataan  tentang kedudukan negara dalam pandangan Islam -menurut paham organisasi tersebut-. Yaitu pendapat tentang tidak perlunya NI didirikan, maka dalam hal ini diperlukan sebuah klarifikasi yang jelas tentang perlu tidaknya didirikan sebuah NI. Di sini ada dua pendapat, pertama; sebuah NI harus ada, seperti pendapat kaum elit politik di Saudi Arabia, Iran, Pakistan dan Mauritania. Pendapat kedua, seperti dianut oleh NU dan banyak organisasi Islam lainnya, tidak perlu ada NI. Ini disebabkan oleh heteroginitas sangat tinggi di antara para warga negara, di samping kenyataan ajaran Islam menjadi tanggungjawab masyarakat, dan bukannya negara. Pandangan NU ini bertolak dari kenyataan bahwa Islam tidak memiliki ajaran formal yang baku tentang negara, yang jelas ada adalah mengenai tanggungjawab masyarakat untuk melaksanakan Syari'ah Islam.
Memang, diajukan pada penulis argumentasi dalam bentuk firman Allah; "Hari ini telah Ku-sempurnakan agama kalian, Ku-sempurnakan bagi kalian (pemberian) nikmat-Ku dan Ku-relakan Islam "sebagai" agama (Al-yauma akmaltu lakum dinakum wa atmamtu alaikum nikmati wa radlitu lakum al-Islama diinan). Jelaslah dengan demikian, Islam tidak harus mendirikan negara agama, melainkan ia berbicara  tentang kemanusiaan secara umum, yang sama sekali tidak memiliki sifat memaksa, yang jelas terdapat dalam tiap konsep tentang negara. Demikian pula, Firman Allah; "Masuklah kalian ke dalam Islam (kedamaian) secara keseluruhan" (Udkhulu fi al-silmi kaffah). Ini berarti kewajiban bagi kita untuk menegakkan ajaran-ajaran kehidupan yang tidak terhingga, sedangkan yang disempurnakan adalah prinsip-prinsip Islam. Hal itu menunjukkan, Islam sesuai dengan tempat dan waktu manapun juga, asalkan tidak melangar prinsip-prinsip tersebut. Inilah maksud dari ungkapan Islam tepat untuk segenap waktu dan tempat (Al-Islam yasluhu likulli zamanin wa makanin).
Sebuah argumentasi sering dikemukakan, yaitu ungkapan Kitab Suci; "Orang yang tidak "mengeluarkan" fatwa hukum (sesuai dengan) apa yang diturunkan Tuhan, maka orang itu (termasuk) orang yang kafir -atau dalam variasi lain dinyatakan orang yang dzalim atau orang yang munafiq-" (Wa man lam yahkum bima anzala Allahu wa hua kaafirun). Namun bagi penulis, tidak ada alasan untuk melihat keharusan mendirikan NI, karena Hukum Islam tidak bergantung pada adanya negara, melainkan masyarakat pun dapat memberlakukan hukum agama. Misalnya, kita bersholat Jum'at, juga tidak karena undang-undang negara, melainkan karena itu diperintahkan oleh Syari'at Islam. Sebuah masyarakat yang secara moral berpegang dan dengan sendirinya melaksanakan Syari'ah Islam, tidak lagi memerlukan kehadiran sebuah Negara Agama, seperti yang dibuktikan para sahabat di Madinah setelah Nabi Muhammad SAW wafat.
*****
Inilah yang membuat mengapa NU tidak memperjuangkan sebuah NI di Indonesia (menjadi NII, Negara Islam Indonesia). Kemajemukan (heterogenitas) yang tinggi dalam kehidupan bangsa kita, membuat kita hanya dapat bersatu dan kemudian mendirikan negara, yang tidak berdasarkan agama tertentu. Kenyataan inilah yang sering dikacaukan oleh orang yang tidak mau mengerti bahwa mendirikan sebuah NI tidak wajib bagi kaum muslimin, tapi mendirikan masyarakat yang berpegang kepada ajaran-ajaran Islam adalah sesuatu yang wajib. Artinya, haruskah agama secara formal ditubuhkan dalam bentuk negara, atau cukup dilahirkan dalam bentuk masyarakat saja? Orang "berakal sehat" tentu akan berpendapat sebaiknya kita mendirikan NI, kalau memang hal itu tidak memperoleh tentangan, dan tidak melanggar prinsip persamaan hak bagi semua warga negara untuk mengatur kehidupan mereka.
Telah disebutkan di atas tentang fatwa Ibn Taimiyyah, tentang kebolehan Imam berbilang yang berarti tidak adanya keharusan mendirikan NI. Lalu mengapakah fatwa-fatwa beliau tidak digunakan sebagai rujukan oleh Muktamar NU? Karena, pandangan beliau digunakan oleh wangsa yang berkuasa di Saudi Arabia bersama-sama dengan ajaran-ajaran Madzhab Hambali (disebutkan juga dalam bahasa Inggris Hambalite School), yang secara de facto melarang orang bermadzhab lain. Kenyataan ini tentu saja membuat orang-orang NU bersikap reaktif terhadap madzhab tersebut. Tentu saja hal itu secara resmi tidak dilakukan, karena sikap Saudi Arabia  terhadap madzhab-madzhab non-Hambali juga tidak bersifat formal. Dengan kata lain, pertentangan pendapat antara "pandangan kaum Wahabi" yang secara de facto demikian keras terhadap madzhab-madzhab lain itu, menampilkan reaksi tersendiri yang tidak kalah kerasnya. Ini adalah contoh dari sikap keras yang menimbulkan sikap yang sama pada "pihak seberang".
Contoh dari sikap saling menolak, dan saling tak mau mengalah itu membuat gagasan membentuk NI di negara kita (menjadi NII), sebagai sebuah utopia yang terdengar sangat indah, namun sangat meragukan dalam kenyataan. Ini belum kalau pihak non-muslim ataupun pihak kaum Muslimin nominal (kaum abangan), tidak berkeberatan atas gagasan mewujudkan negara Islam itu. Jadi gagasan yanag semula tampak indah itu, pada akhirnya akan dinafikan sendiri oleh bermacam-macam sikap para warga negara, yang hanya sepakat dalam mendirikan negara bukan agama. Inilah yang harus dipikirkan sebagai kenyataan sejarah.  Kalaupun toh dipaksakan -sekali lagi- untuk mewujudkan gagasan NI itu di negara kita, maka yang akan terjadi hanyalah serangkaian pemberontakan bersenjata seperti yang terjadi di negara kita tahun-tahun 50-an. Apakah deretan pemberontakan bersenjata seperti itu,  yang ingin kita saksikan kembali dalam sejarah modern bangsa kita ? Ini prinsip yang jelas, tapi sulit dilaksanakan, bukan?
Selengkapnya »»  

Jumat, 09 Desember 2011

Sekilas Tentang Hari Anti Korupsi Internasional

Pada 31 Oktober 2003, Majelis PBB menetapkan  Konvensi PBB  melawan  Korupsi  (UNCAC) dan meminta  Sekretaris  Jenderal  menunjuk  Kantor  PBB  untuk masalah Obat-obatan Terlarang dan Kejahatan (UNODC) sebagai sekretariat untuk Konferensi Konvensi Negara-Negara Pihak.

Pada tanggal 31 Oktober 2003 pula, Majelis PBB menetapkan 9 Desember sebagai Hari Anti Korupsi Internasional, guna meningkatkan kesadaran  terhadap anti korupsi  dan peran  UNCAC  dalam memerangi dan mencegah korupsi. UNCAC mulai berlaku pada bulan Desember 2005 dan Indonesia telah meratifikasi UNCAC pada tahun 2006.

Peringatan Hari Anti  Korupsi Internasional pertama dilakukan di Merida, Meksiko pada tanggal 9 Desember 2004. Sejak itu, setiap tahun dunia turut merayakan hari yang khusus ini untuk memerangi korupsi. Tahun 2010, UNODC Indonesia bersama-sama dengan KPK, Komisi Yudisial, Transparency International Indonesia, Indonesian Corruption Watch dan Uni Eropa menggelar Kampung Anti  Korupsi serta festival musik dan budaya bertemakan anti korupsi yang melibatkan berbagai lapisan masyarakat.

Dalam rangka mensukseskan peringatan Hari Anti Korupsi Internasional 2011. UNODC dan United Nations Development Programme (UNDP), memiliki kampanye global: ACT –Against Corruption Today dan bersama negara sahabat seperti Uni Eropa dan Norwegia mendukung kampanye nasional di  Indonesia; “Berani Jujur, Hebat!”. Utamanya, guna menyampaikan pesan anti korupsi kepada masyarakat yang lebih luas serta mendukung upaya pemerintah dan masyarakat sipil dalam menunjukkan komitmen bersama dalam mencegah dan memberantas korupsi.
Selengkapnya »»  

Minggu, 04 Desember 2011

Bicara Ketika Berwudhu

Memang dalam kenyataan sehari-hari, kita sering menjumpai orang yang berwudhu sambil berbincang. Bahkan anak kecil sering berwudhu sembari bermain air. Mengingat wudhu merupakan kunci memasuki berbagai macam ibadah (sholat, thowaf, baca al-qur’an dll), hendaklah wudhu diperhatikan dengan seksama. Karena keabsahan beberapa ibadah tersebut tergantung pada keabsahan wudhu itu sendiri. Ketika wudhu seseorang tidak sempurna dan dianggap tidak sah menurut pandangan syariat, maka berbagai ibadah setelahnyapun menjadi tidak sah. Karena wudhu merupakan wahana menuju kesucian yang disyaratkan dalam berbagai macam ibadah.Dalam berbagai litertur fiqih, khususnya kitab I’anatuth Thalibin dijumpai keterangan bahwa di tengah mengerjakan wudhu di-sunnahkan untuk tidak berbicara tanpa ada keperluan. Jika terdapat keperluan mendesak maka berbicara malah bisa berubah menjadi wajib. Misalnya, ketika kita sedang berwudhu lalu melihat orang buta berjalan sendirian, sedangkan ia berjalan menuju sebuah lubang yang membahayakan, maka berbicara dan memberikan peringatan terhdapanya hukumnya menjadi wajib. Meskipun kita dalam keadaan berwudhu. Menyelamatkan orang buta jelas lebih diutamakan dari pada memenuhi anjuran untuk diam di saat mengerjakan wudhu.

Anjuran (sunnah) diam dalam berwudhu sangatlah beralasan. Bagaimanapun juga wudhu merupakan ibadah yang harus dilaksanakan dengan penuh kekhusu’an dan konsentrasi agar terlaksana sesuai dengan garis-garis yang ditetapkan syariat sebagaimana telah terumuskan dalam kitab-kitab fiqih. Sebagaimana dimaklumi, membasuh kedua kaki, tangan dan muka harus benar-benar merata. Jangan sampai ada bagian yang tertinggal yang tidak tersentuh air karena itu mengurangi kesempurnaan wudhu dan berakibat pada tidak syahnya sebuah wudhu. Jika sebuah wudhu dianggap tidak sah, maka sholat dan segala ibadah yang menggunakan wudhu tersebut juga tidak sah. Oleh karena itulah dibutuhkan kehati-hatian dan konsentrasi dalam berwudhu.

Dari keterangan di atas, maka dapat diimpulkan bahwa diam dalam berwudhu hukumnya sunnah. Meskipun berbicara tidak membatalkan wudhu tetapi bisa mengurangi konsentrasi dan kehati-hatian. Wallahu a’lam.

Sumber: KH.M.A. Sahal Mahfudh, Dialog Problematika Umat.
Selengkapnya »»  

KHOTBAH : Muharram Bulan Mulia, Asyuro Hari Istimewa

الحمد لله الذى جعل شهر المحرم أول السنين والشهور, أحمده سبحانه وتعالى حمد عبد شكور , وأشهد أن لااله الاالله وحده لاشريك له شهادة تكون لنا ذخرا عند عزيز الغفور, وأشهد أن محمدا عبده ورسوله أرسله رحمة للعالمين. اللهم صل وسلم وبارك على عبدك ورسولك النبي الأمي سيدنا محمد وعلى اله وصحبه وعلى جميع الانبياء والمرسلين واتبعهم اجمعين عدد ما بين السموات والأرضين – أما بعد  Ma’asyiral Muslimin Rahimakumullah
Marilah kita bersama-sama tingkatkan ketaqwaan kita kepada Allah. Bersyukurlah bahwa kita semua masih diberi umur panjang menikmati tahun baru Islam. Tak terasa tahun telah berganti, umur telah bertambah, sudahkah semua it kita sertai dengan tambahnya iman dan taqwa? Bukankah Allah telah menambahkan umur dalam hidup kita? Mengapa kita tidak menambah keta’atan kepadanya?Jama’ah Jum'ah yang berbahagia
Ingatkah kita pada suatu hari di Empat Belas Abad yang lalu ketika Rasulullah saw melakukan perjalanan berat dari Makkah menuju Madinah. Di atas punggung onta, mendaki gunung berbatu, menuruni lembah dipanggang di bawah ganasnya terik matahari padang pasir. Medan yang berat menjadi tambah berat ketika harus menghindar kejaran kaum kafir Quraisy. Berjalan dengan penuh kewaspadaan dan kehati-hatian. Hanya dengan niat dan keyakinan yang teguhlah Rasulullah saw berhasil akhirnya sampai pula di kota Madinah. Madinah menjadi pelabuhan dakwah Rasulullah saw yang menghantarkan kejayaan Islam. Dari Madinahlah Islam melebarkan sayapnya hingga ke pelosok-penjuru bumi. Ke Asia menembus lautan, mengarungi benua dan menaklukkan Alam. Semua itu Rasulullah saw lakukan demi syiar Islam, hingga kita manusia Nusantara dapat menikmati manisnya iman kepad-Nya. itulah salah satu hikmah hijrahnya Rasulullah saw. Begitu agungnya hikmah di balik hijrah Rasulullah saw, sehingga Umar bin Khattab ra. bersama-bersepakat dengan para sahabat me’monumen’kan hijirah Rasulullah saw dalam bentuk penanggalan dalam Islam.
Jama’ah yang dimulikan Allah
Marilah kita bersama-sama berhijrah, berpindah dan berusaha berubah menuju kebaikan, atau menuju yang lebih baik.. Karena sesungguhnya umur kita semakin menipis, jatah umur kita semakin menyempit. Alangkah baiknya jika kita segera melangkah meninggalkan segala yang buruk dan menggantinya dengan hal yang lebih bermakna. Sudahkah kita memenuhi tabungan amal kita dengan amal yang shaleh. Padahal umur kita semakin hari semakin berkurang. Seperti yang termaktub dalam hadits:
طوبى لمن طال عمره وحسن عمله (رواه الطبرانى عن عبدالله بن يسر)
Artinya: Sungguh berbahagia bagi orang yang panjang usianya dan baik amal perbuatannya (HR. Thabrani)
Memang dalam sejarah tercatat bahwa secara fisik Rasulullah saw hanya sekali melaksanakan hijrah. Akan tetapi hijrah itu harus kita maknai secara dinamis. Bahwa pergerakan dan perubahan tidak cukup dilaksanakan sekali seumur hidup. Jikalau dalam taraf tertentu kita telah merasa sudah baik, maka hendaklah terus berubah menuju ke yang lebih baik. Dan begitulah seterusnya.
Ma’asyiral Muslimin Rahimakumullah
Bulan Muharram dalam tradisi Islam memiliki makna yang dalam dan sejarah yang panjang. Diantara kelebihan bulam Muharram terletak pada hari ‘asyura’ atau hari kesepuluh pada bulan Muharram. Karena pada hari ‘asyura’ itulah (seperti yang termaktub dalam I’anatut Thalibin) Allah untuk pertama kali menciptakan dunia, dan pada hari yang sama pula Allah akan mengakhiri kehidupan di dunia (qiyamat). Pada hari ‘asyura’ pula Allah mencipta Lauh Mahfudh dan Qalam, menurunkan hujan untuk pertama kalinya, menurunkan rahmat di atas bumi. Dan pada hari ‘asyura’ itu Allah mengangkat Nabi Isa as. ke atas langit. Dan pada hari ‘asyura’ itulah Nabi Nuh as. turun dari kapal setelah berlayar karena banjir bandang. Sesampainya di daratan Nabi Nuh as. bertanya kepada pada umatnya “masihkah ada bekal pelayaran yang tersisa untuk dimakan?” kemudian mereka menjawab “masih ya Nabi” Kemudian Nabi Nuh memerintahkan untuk mengaduk sisa-sisa makanan itu menjadi adonan bubur, dan disedekahkan ke semua orang. Karena itulah kita mengenal bubur suro. Yaitu bubur yang dibikin untuk menghormati hari ‘asyuro’ yang diterjemahkan dalam bahasa kita menjadi bubur untuk selametan.
Bubur suro merupakan pengejawentahan rasa syukur manusia atas keselamatan yang Selma ini diberikan oleh Allah swt. Namun dibalik itu bubur suro (jawa) selain simbol dari keselamatan juga pengabadian atas kemenangan Nabi Musa as, dan hancurnya bala Fir’aun. Oleh karena itu barang siapa berpuasa dihari ‘asyura’ seperti berpuasa selama satu tahun penuh, karena puasa di hari ‘asyura’ seperti puasanya para Nabi. Intinya hari ‘syura’ adalah hari istimewa. Banyak keistimewaan yang diberikan oleh Allah pada hari ini diantaranya adalah pelipat gandaan pahala bagi yang melaksanakan ibadah pada hari itu. Hari ini adalah hari kasih sayang, dianjurkan oleh semua muslim untuk melaksanakan kebaikan, menambah pundi-pundi pahala dengan bersilaturrahim, beribadah, dan banyak sedekah terutama bersedekah kepada anak yatim-piatu.
Hadirin Ma’asyiral Muslimin Rahimakumullah
Bubur suro, baik yang dituangkan oleh Nabi Nuh as. maupun yang dimasak oleh para nenek dan ibu kita, bukanlah satu-satunya bentuk sedekah yang harus kita laksanakan pada bulan ini. Bubur itu hanyalah perlambang bahwa bulan Muharram, awal tahun baru Hijrah merupakan momentum untuk memperkokoh persaudaraan. Karena sejatinya bubur suro yang telah dimasak tak mungkin disembunyikan, pastilah untuk dihidangkan. Ada baiknya hidangan itu kita bagikan kepada tetangga dan sanak keluarga. Sebagai tanda syukur atas segala nikmat yang diberikan-Nya. Nikmat umur terutama. Jika demikian logikanya, maka bubur itu bisa diganti dengan parcel berisi buah-buahan, atau serantang maknan, atau beberapa tusuk sate maupun iga bakar. Karena subtansinya adalah bersilaturrahmi membagi rasa sukur kepada sesama. Bukan bersilaturrahmi melalui pesan singkat yang dikirim dengan menebus pulsa. Bukan itu…!
Akhirnya, saya ucapkan selamat tahun baru, semoga hari ini lebih baik dari hari kemaren, dan pastikanlah esok lebih baik dari hari ini…amien
جعلنا الله واياكم من الفائزين الامنين, وأدخلناواياكم فى عباده الصالحين. أعوذ بالله من الشيطان الرجيم. وإذ أخذنا ميثاق بني إسرائيل لا تعبدون إلا الله وبالوالدين إحسانا وذي القربى واليتامى والمساكين وقولوا للناس حسنا وأقيموا الصلاة وآتوا الزكاة ثم توليتم إلا قليلا منكم وأنتم معرضون.
بَارَكَ الله لِى وَلَكُمْ فِى اْلقُرْآنِ اْلعَظِيْمِ, وَنَفَعَنِى وَإِيَّاكُمْ بِمَافِيْهِ مِنْ آيَةِ وَذْكُرَ الْحَكِيْمَ وَتَقَبَّلَ اللهُ مِنَّا وَمِنْكُمْ تِلاَوَتَهُ وَاِنَّهُ هُوَالسَّمِيْعُ العَلِيْمُ, وَأَقُوْلُ قَوْلى هَذَا فَاسْتَغْفِرُ اللهَ العَظِيْمَ إِنَّهُ هُوَ الغَفُوْرُ الرَّحِيْم
sumber NU
Selengkapnya »»