Pages

Selasa, 13 Desember 2011

RESENSI


___
Islam in Contention: Rethinking Islam and State in Indonesia

Penerbit: Wahid Institute-CSEAS-CAPAS
Tahun: 2010
Tebal: 468 hlm
____
Buku yang menghadirkan perspektif dan perdebatan baru hubungan Islam dan negara. Diskusi yang tetap menarik.
TAK banyak buku, terutama dalam bahasa Inggris, yang terbit untuk memotret perkembangan mutakhir soal Islam dan negara. Buku ini diikhtiarkan untuk menelisik kompleksitas relasi Islam dan negara dalam konteks pascareformasi. Topik lawas ini erat kaitannya dengan konstitusionalisme dan telah muncul sejak menit pertama saat dasar dan konstitusi Indonesia dirumuskan.
Konstitusionalisme adalah paham bahwa sebuah negara harus dijalankan dengan aturan atau hukum, bukan atas keinginan atau kehendak orang per orang. Akibatnya, konstitusi menjadi ruang pergumulan antara aspirasi yang berbeda-beda. Pembukaan UUD 1945 dan Pancasila pada awalnya diniatkan sebagai titik temu (kalimatun sawa) antara kelompok sekuler dan Islam.
Tapi belakangan perdebatan Islam dan negara yang usianya setua republik ini tak lagi terpaku pada narasi-narasi besar. Tak ada lagi oposisi biner. Baik kubu pro maupun kontra-formalisasi syariat berasal dari rahim Islam; sama-sama fasih memakai justifi kasi teologis untuk membenarkan argumen masing-masing. Buku hasil simposium internasional di Universitas Kyoto ini menghadirkan perspektif dan perdebatan baru hubungan Islam dan negara.
Dua perkembangan mutakhir pada level sosiologis dan politik elektoral menjadi latar belakang masalah (hlm. 3-8). Pertama, islamisasi di tingkat massa. Indikatornya, maraknya jilbab, gerakan dakwah di kampus-kampus, penerbitan buku-buku Islam, dan tayangan islami di stasiun-stasiun TV. Gejala santrinisasi ini dikonfi rmasi, baik kuantitatif maupun kualitatif.
Kedua, perubahan sosiologis ini ternyata tak berdampak secara elektoral. Perolehan suara partai-partai Islam dari pemilu ke pemilu makin merosot. Partai-partai nasionalis sukses melakukan paradigm shift dari partai yang awalnya dicap kurang ramah menjadi lebih reseptif terhadap aspirasi umat. Partai-partai nasionalis juga makin ke tengah, mengambil ceruk pasar pemilih muslim, tanpa menanggalkan cap membentuk organ-organ sayap yang khusus menggarap umat muslim. Bahkan PDIP pun membentuk Baitul Muslimin Indonesia.
Kuatnya kepentingan elektoral inilah yang diamati salah satu penulis buku ini, Abdur Rozaki, dalam soal RUU Pornografi yang dimanfaatkan elite politik untuk mengail simpati pemilih muslim. Ahmad Suaedy menyoroti kasus kekerasan agama. Menurut dia, MUI, Kementerian Agama, dan pemerintah Yudhoyono telah memberi ruang maraknya aksi kekerasan agama. Elite politik lebih mementingkan konstituen di atas konstitusi.
Inilah pergeseran baru dalam relasi Islam dan negara. Tak ubahnya anggur lama dalam botol baru, perdebatan tak lagi berkisar pada penerimaan atau penolakan Pancasila. Dalam retorika kelompok islamis, Pancasila bukan lagi pusat kontroversi. Meminjam bahasa Habib Riziq: "Indonesia memang bukan negara agama, tapi bukan juga negara setan." Pancasila, dalam tafsir mereka, membuka ruang bagi pelaksanaan syariat dan nilai-nilai agama.
Kontributor buku ini, Abubakar E. Hara, menunjukkan dalam isu penerapan peraturan daerah tentang syariat, baik kubu yang pro maupun kontra, merujuk pada Pancasila (hlm. 37-42). Pancasila bagaikan korpus teks yang terbuka ditafsirkan sesuai dengan kepentingan kelompok.
Sadar bahwa usaha memasukkan Piagam Jakarta melalui amendemen UUD 1945 berkali-kali membentur tembok, kubu prosyariat menggeser lokus pertarungan dari tingkat pusat ke daerah. Memanfaatkan celah UU Otonomi Daerah, kubu pengusung syariat sukses mengegolkan peraturan daerah tentang syariat di beberapa wilayah.
Modusnya hampir sama, menjalin aliansi taktis dengan calon kepala daerah dari pelbagai macam partai dan dijanjikan dukungan melimpah dari pemilih muslim.
Modus lain, kepala daerah yang maju kembali dalam pemilihan dan terbukti gagal menangani masalah teknis kesejahteraan mendorong mereka untuk bermain isu-isu simbolis untuk menutupi kegagalannya. Peraturan daerah tentang syariat ditampilkan sebagai panacea, eliksir, atau obat mujarab yang manjur menyembuhkan masalah.
Buku ini kaya perspektif dalam melihat perkembangan isu seputar relasi Islam dan negara. Subtopik yang dibahas merentang dari abstraksi teologis-filosofis Islam dan keadilan sosial hingga isu teknis perdebatan mengenai peraturan daerah tentang syariat, counter legal draftKompilasi Hukum Islam, RUU Pornografi , hingga kekerasan agama.
Buku ini juga merekam pendekatan yang berbeda antara gerakan-gerakan islamis hingga kelompok tarekat dan sejarah Banten pada 1520-1813. Itu pula kelemahan buku ini. Lebarnya pembahasan membuat pembaca bisa kehilangan fokus. Maklumlah, buku ini lahir dari belasan kontributor dengan latar belakang keahlian yang berbeda-beda. Di atas segalanya, buku ini berhasil menunjukkan diskusi soal Islam dan negara akan tetap menarik sepanjang republik ini masih ada.
Burhanuddin Muhtadi, peneliti TEMPO, 24 Juli 2011

0 komentar:

Posting Komentar